Aku Hanya Ingin Dia
Seperti
biasa, tawanya berkelar kepadaku. Meski itu hanya sebuah emoticon dari Blackberry
Messenger (BBM), tetapi itu sudah cukup menggambarkan wataknya. Iya, dialah
Desi Kriswahyuni. Akrabnya disapa Dekris. Lebih dari itu, ia salah satu teman
dekatku. Ia anak yang periang, murah senyum, ramah terhadap orang lain.
Kebetulan sudah dua semester ini aku sekelas dengannya. Berkenaan dengan hal
itu, aku adalah orang yang suka curhat, terutama kepada Desi. Hemss..., pagi
ini aku berniat bermain ke kontrakan Desi. Sebelumnya aku mandi terlebih dulu.
Biar terlihat wangi dan rapi. “Semoga yang memandangku berkenan, terlebih muka
imutku,” batinku berucap percaya diri. Aku tak ingin malu pada temanku. Tak
ingin ada teman yang menilaku sebagai anak yang bau kemenyan atau mbako. Selesainya mandi dan berganti
pakaian, bukannya langsung bergegas pergi. Aku membuka pesan BBM-ku. Aku lihat
daftar obrolanku. Oh..., Desi mengirim pesan kepadaku.
“Cal,
kalau mau main ke sini sekarang saja! Selagi aku nganggur.” Ucapannya teriang
di kepalaku. Betapa tidak! logatnya pun sampai aku hafal. Aku ketik pesan
balasan untuknya. Dan tidak ketinggalan juga, image senyum aku sampaikan padanya.
“Iya
bentar, saya juga sudah siap kok. Tunggu saja!!”
Aku ambil kunci motor yang tergeletak di
atas lemari kamarku. Aku bergegas pergi menuju motorku yang kuparkir di
pelataran kost. Aku nyalakan segera mungkin. Suara bising terdengar mendayu
sampai telingaku. Bau asap kendaraan
menyengat hidungku. Sekitar sepuluh menit aku memanasi mesin motor. Aku
pikir itu sudah cukup panas. Aku geber
kendaraan dua roda itu menuju tempat Desi. Waktu tempuh sekitar lima menit,
cukup dekat dari kostku. Sesampainya, Desi sedang berada di halaman
kontrakannya. Aku lihat dia sedang menjemur pakaiannya. Aku dekati dirinya.
Badannya agak gemuk. Melebihi standar ukuran tubuh perempuan. Kata orang,
ukuran seperti artis Marsha Timothylah yang.
“Ehem..,
ehem.., rajin amat kamu Des?” sapaku tersenyum padanya. Mataku melirik
tingkahnya. Tangannya cak-cek menggantungkan jemuran pakaiannya.
“Iya
dong Ical. Sedari dulu aku memang rajin. Apa kamu baru tahu sekarang?”
Tawanya agak lama. Aku ikut tertawa.
Sedikit, sudah cukup untuk menggambarkan ketidakpercayaanku.
“Rajin?
Sejak kapan? Dan aku pikir itu percuma. Lihat! Langit pun mendung. Semoga saja
turun hujan,” tanganku menunjuk ke langit.
“Ihhh..,
kok gitu, sih? Jangan ah!” mulutnya manyun
kepadaku. Mungkin ia kesal karena aku berdoa yang tidak-tidak. Mau bagaimana
lagi. “Aku ini orangnya suka humor. Murah senyum, ramah, peduli. Aku rasa
begitu.” Mulutku ini tak bisa diam, masih saja ingin mengoceh.
“Yah,
biarin. Suka-suka akulah. Mengapa kamu yang risau? Why? Salah?” balasku. Desi
semakin manyun saja.
“Kamu
tuh, ya?” agak cepat ia menjawab. Aku alihkan perhatiannya. Menurutku akan
lebih menarik dan lucu. Cukup untuk menghiburku. Aku tertawa padanya.
“Apa?
Danang? Sejak kapan kamu jadian? Mengapa kamu tidak bilang kepadaku? Ha-ha-ha.”
Raut wajahnya tiba-tiba memerah.
Ekspresinya kesal. Aku tak mengindahkannya. Tawaku semakin menjadi.
“Danang..,
Danang, sudahlah saya tak memikirkan hal itu. Apa pentingnya?” pekiknya.
“Benarkah
begitu? Aku lihat dan terawang, kamu itu sangat mencintai dia. ” godaku.
Masih seputar masalah Desi. Teman-teman
sekelas tahu kalau Desi dan Danang lagi dekat. Ada yang bilang kalau mereka
sudah jadian. Ada juga, mereka itu lagi masa pendekatan. Tapi, ada yang lebih
parah dari itu. Mereka sudah putus! Itu rumor darimana datangnya? Aku sering
kena marah dari Desi. Ia selalu curhat dan bercerita masalah cinta kepadaku.
Wajar saja jika ia menyalahkanku. Pikirnya, aku yang mengumbar gosip itu pada
yang lain.
“Hahh!
Capek saya dengarnya.., S-T-O-P!!”
Pembicaraan kali itu semakin menarik
ketika Siti ikut nyimbrung. Ia keluar dari pintu kontrakan menuju pelataran
depan. Tampangnya masih ngantuk. Rambutnya yang sebahu terlihat acak-acakan. Seakan ia adalah wanita pengemis yang kumal,
tak teratur.
“Pagi
amat kamu Cal,” sapanya ramah padaku.
Aku lihat jam tanganku. Aku melongo ke
Siti.
“Perasaan
sudah siang. Lihat saja mataharinya, lihat jammu juga!!”
Tawanya berkelar. Cengar-cengir tak
jelas, seperti orang tak tahu jalan pulang.
“He-he-he..,
ada keperluan apa ke sini?”
Aku hanya geleng-geleng kepala. Selama
ini aku merasa dibohongi. Katanya perempuan itu makhluk yang disiplin dan tahu
waktu. Kapan dan apa yang harus ia kerjakan. Terlebih masalah bangun tidur. Aku
kira perempuan itu, kalau pukul empat atau lima sudah bangun. Apa kek, shalat atau masak. Yang ini beda.
Dasar kebo!
“Aku
hanya ingin mengobrol saja. Desi yang memintaku ke sini!” Pandanganku mengarah
ke atas langit. Kepalaku mendongak. Awan biru berkumpul, berjejer. “Sungguh
indah ciptaan Allah SWT. Shubhanallah!” ucap hatiku lirih. Pikiranku seakan kosong mlompong. Takjub akan milik-Nya.
Matahari kian condong ke arah barat.
Sinarnya makin panas aku rasakan. Maklum saja, waktu itu jam tanganku menunjuk
angka sepuluh. Desi akhirnya selesai menjemur pakaiannya. Lantas, disuruhlah
aku masuk ke kontrakannya.
“Masuk
Cal! Ngobrol di dalam saja. Tak enak dilihat warga sekitar.”
Aku turuti saja permintaannya. Aku masuk
ke dalam kontrakan Desi. Sementara itu Siti masih di luar. Ia terlihat sibuk
dengan handphonenya. Lambaian
tangannya mengudara. Ke kanan dan ke kiri. Sesekali ia tunjukan ekspresi
kesalnya. Gumamku, ini bocah lagi error?
Aku tanya dia,
“Sit,
ngapain kamu?” Aku tatap wajahnya. Ia berbalik arah. Sambil menggerakkan
tangannya,
“Cari
sinyal Cal, pending terus nih BBM-nya.”
Zaman semakin modern saja.
Sedikit-sedikit ngirim pesan, terutama BBM. Kalau sinyal ngadat, banyak orang mencaci maki. Desi hanya tersenyum mendengar
aku berkata kepada Siti. Kemudian ia menyodorkan segelas air putih padaku. Ia
mempersilahkan.
“Minumnya,
Cal!”
Temanku yang satu ini memang baik.
Seringkali ia berlaku seperti ini. Lebih dari itu, aku menganggapnya sebagai
adekku. Aku lebih tua dari ia. Pantas-pantas saja kalau menurutku, terlebih
sedari dulu aku ingin memiliki adek perempuan.
“Terimaksih
Adek,” aku angkat gelasnya dan aku tenggak perlahan. Mataku tertuju ke gelas.
Bening dan suci. Gambaran yang pas untuk sikap Desi. Setiap main ke tempat
Desi, ada kegiatan rutin yang selalu aku lakukan, melihat kamar Desi. “Berantakan amat?” mataku menatap kamar Desi.
Ia tersenyum manja.
Tampak ia malu pada dirinya,
“He-he-he..,
belum saya rapikan Cal. Lagian yang berantakin Yeni kok?”
Sudah berapa kali aku mendengar alasan
semacam itu. Itu kamarmu, itu kamu yang urus. Aku tersenyum sendiri. Desi
menatapku seakan penasaran. Tatapan matanya seperti orang linglung. Terbesit dalam pikiranku untuk membahas hubungan Desi dan
Danang. Aku juga penasaran, sejauh mana hubungan mereka. Aku lontarkan
pertanyaan,
“Bagaimana
Danang? Apakah ada perkembangan yang signifikan?”
Jawabnya lirih, kepalanya menunduk.
Jemarinya mengetuk-ngetuk ubin lantai.
“Sementara
ini belum Cal. Aku saja bingung mau ngapain lagi,” kembali Desi menjawab dengan
lembut, selembut-lembutnya seperti hatinya. Aku terdiam sejenak. Entah apa yang
harus aku katakan padanya. Sebagai teman, aku harus peduli. Entah seberat dan
sesulit apapun masalah. Aku harus membantu.
“Seberapa
kamu menyukainya? Atau mencintainya?” aku utarakan pelan. Harapku, semoga ada
titik terangnya. Ia bingung. Mungkin kesulitan atau malu mengatakannya.
“Aku..,
mennn..cin..tain..nyaaa, Cal. Galau
tak ada kepastian darinya,” Desi menjawab penuh keraguan. Wajahnya suram. Aku
lanjutkan lagi. Aku tahu itu berat
untuknya. Terkadang masalah cinta memang benar adanya bisa membius orang. Cinta
tak mengenal jenis kelamin, tak juga mengenal derajat, sosial, dan apapun yang
ia miliki. Aku pernah merasakan cinta. Waktu itu aku masih SMP. Tepat saat aku
kelas tujuh, aku pertama kalinya merasakan getaran cinta. Getaran seperti
gelombang suara longitudinal.
Berayun-ayun dalam pikiran, dalam relung hati terdalam. Perasaan terbang tak
berarah. Tak punya lagi tujuan pasti. Pokoknya senang-senang saja. Aku tahu
itu!
Hening suasana kali itu. Aku sulut
sebatang rokok. Hisapan demi hisapan, asapnya membumbung ke udara. Ruangan tamu
menjadi pekat dan sumpek. Desi dengan
sergapnya menutup hidung mungilnya. Takut kalau segala bahan kimia yang
terkandung di dalamnya masuk ke paru-parunya. Aku melihat itu. Kujauhkan
setengah meter rokokku darinya.
“Rencana
yang selanjutnya bagaimana? Mau dilanjutkan?” ucapku serius. Ia masih saja
bingung. Berbagai kebimbangan menjerat otaknya. Aku pikir itu wajar-wajar saja.
Cinta pertama yang ia alami saat ini begitu rumit.
“Ical
tahu kamu suka Danang, dan kamu pernah bilang ke aku jika kamu susah berpaling
dari cowok manapun. Apakah kamu suka batinmu tersiksa?”
Senyumnya menipis, bahkan hilang
seketika. Kulihat Desi lesu mendengar pernyataanku.
“Mau
bagaimana lagi Cal, terus menurutmu bagaimana? Coba deh kamu pantau terus Danangnya, kamu tanyain tentangku gitu!”
jawabnya lirih penuh harap. Tampak dari wajahnya yang was-was.
“Iya
aku akan tanyakan, kalau memang tidak ada respon, kamu move on dan cari yang lain!”
“Semoga
saja dia merespon. Saya benar-benar menyukai dia, Cal. Hanya satu-satunya, itu
yang aku rasakan kali ini.”
“Sudah
berapa kali saya mendengarnya, toh tak
ada hal yang baik. Saya akan bantu kamu sebisanya.”
“Makasih
Cal. Jangan bosan kepadaku! Aku senang bercerita tentang hal cinta. Sampai saat
ini, aku masih penasaran.”
“Santai
saja. Aku akan menjadi penyimak yang baik dari setiap ceritamu. Baiklah! Satu
minggu ini kamu dekatkan dirimu padanya. Entah bagaimana caranya agar Danang
merespon perasaanmu, syukur-syukur dia mau nembak
kamu.” saranku tertuju pada Desi. Mulutku komat-kamit seperti dukun. Memberi
petuah, seolah-olah aku tahu dan itu benar-benar terjadi. Aku berharap nanti
hasilnya terlihat.
Ia hanya mengangguk saja.
“Oke,
kalau begitu. Akan aku coba semaksimal mungkin.” senyumnya lepas sumringah.
Angin semilir masuk perlahan ke dalam
kontrakan Desi. Kurebahkan badanku sejenak di atas lantai. Seraya terdiam
memikirkan masalah Desi, kumainkan jemariku memencet keyboard androidku.
Sebenarnya aku tak tega melihat kegundahannya akan cinta, namun mau dikata apa
lagi. Hanya masalah cinta, simpel namun mengena.
Belum lagi masalah yang lain. Cinta! Satu hal yang membuatku heran, kata orang
cinta itu satu. Cinta itu bulat, utuh. “Bagai memanah bulan, hal yang sulit
dinalar.” Desi terus bercerita. Tak jauh dari topik yang pertama, cinta dan
Danang. Aku dengarkan saja sambil menikmati hisapan demi hisapan rokok yang aku
sulut sedari tadi. Aku sempat membuat bentuk bulat dari asap rokok. Suara
plok..plok..plok dari lidahku saat membuat bulatan. Aku perhatikan bulatan itu.
Itu bulat, itu satu-kesatuan. Apakah cinta seperti itu? Pikirku belum pasti. Untuk
satu minggu yang akan datang, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Apakah endingnya bahagia atau mungkin tragis.
Aku berharap ada aura positif datang menghampirinya. Terlepas dari itu semua,
dari masalah awal, dari cinta. Setidaknya sekarang ini, ia tampaknya hanya
punya satu cinta.
***
0 Response to "Aku Hanya Ingin Dia"
Post a Comment