Cerpen Dispenser dan Secangkir Kopi Hitam Karya Faisal Nur Syamsu

Tangan kecilnya memencet tombol merah. Lantas berwarna kuning menyala. Terangnya seperti kunang-kunang yang terbang ke sana ke mari. Maklum itu adalah keseharian Paijo selama ngekost di Jogja. Ngeteh atau membuat kopi. Entah pagi, siang, atau malam. Kegiatan itu terus-menerus terulang.  Dan pada sore sehabis hujan turun lebat, saat sunset mulai tampak. Betapa indahnya. Tepat jika segelas kopi hangat menemaninya.Tak lupa ia sulut rokok kreteknya. Asap membumbung ke udara. Memenuhi ruang kostnya hingga penat dan sumpek. Parjo hanya menatapnya. Wajahnya yang bulat bak bulan purnama penuh. Kebetulan saat itu Parjo sedang bermain di kost Paijo. Seharian berkelut dengan buku, dengan ceramah dosen. Entah mudeng atau tidaknya mereka, tidak Paijo, tidak juga Parjo.
“Ueennakkk yoh, kopi anget sore-sore begini,” Parjo mengangkat segelas kopi yang Paijo seduh. Uapnya terlihat terbang ke udara. Sesekali ia bergumam sendiri karena air yang dituangkan Paijo terlalu panas.
“Bukan enak lagi Cuk, tapi manteb tenan! Surga dunia pokonya,” balas Paijo seraya tersenyum lebar. Senyumnya punya ciri khas tersendiri di mata teman-temannya. Setiap kali ia tersenyum, ada saja yang mengomentarinya. Ihhh... imutnya! Perlahan namun pasti, disrutupnya kopi itu. Lidahnya menjulur keluar. Mulutnya komat-kamit layaknya seorang dukun membaca mantra yang berlagak mengobati pasien.
“Mengapa Jo? Lidahmu terbakar? Siapa suruh terlalu panas. Bukankah saya sudah bilang, campur setengah air dingin!” Parjo tampak sedikit kesal, namun ia hanya tertawa kecil. Mereka terlihat sumringah. Rasa bahagia nampak menyelimuti. Bak selimut yang menutup dinginnya badan karna cuaca yang dingin seperti Eropa yang terdapat musim salju. Boleh dikatakan mereka memang akrab. Mereka yang satu kelas seakan tak terpisah. Kalau pagi Parjo menghampiri Paijo, kemudian berangkat bersama-sama. Senantiasa Paijo menumpang kendaraan Parjo jika hendak berangkat kuliah. Sebuah rutinitas yang senantiasa Parjo lakukan sudah menjadi bagian dari hidup Paijo itu sendiri. Namun, terkadang Paijo selalu dibuat kesal oleh Parjo. Bukan masalah gesekan semacam pertengkaran atau bercanda yang berlebih dan yang sepele. Parjo terkenal rajin bolos kuliah, sementara Paijo tidak. Maka tak heran jika Paijo selalu saja mengomel pada Parjo. Sebuah bentuk perhatian yang ingin ditunjukkan pada Parjo. Bahkan sampai Paijo lelah, bosan ketika baru berapa jam ia memberikan petuah ke Parjo dan ia tak menghindahkan. Apa boleh buat, Paijo hanya bisa mengelus dada.
“Kenapa kemarin tidak masuk lagi, Cuk? Keparat! Bangsat! Bocah sedeng,” teriak Parjo dengan lantangnya. Matanya tak berhenti menatap wajah Parjo.

Parjo diam. Ia masih santai bermain smartphonenya. Sudah sering Parjo mendengar istilah itu. Lagi dan lagi, tak terhitung berapa kalinya. Parjo menenggak segelas kopi. Gluk..gluk, gluk.. terdengar dari tenggorokannya. Rasa hausnya seperti hidup di padang pasir yang kering kerontang dan panas. Padahal hanya secangkir kopi.
“Maaf Cuk.., ketiduran saya. Mau mandi udah keburu siang,” mulutnya cengar-cengir menatap Paijo.
“Lah gak apa-apa Jo, pak dosen yang satu itu gak bakalan marah kok. Telat rapopo, asal jangan bolos,” Paijo cemberut kesal pada Parjo. Bukan hanya Parjo yang rajin bolos kuliah, teman Paijo yang satunya juga ikut-ikutan penyakitnya Parjo, Arjuna namanya. Cukup disayangkan, waktu itu Arjuna tidak mampir ke kost Paijo. Arjuna sendiri merupakan teman sekelas Paijo dan termasuk salah satu lelaki ganteng di kelas D. Parasnya yang cakep nan putih, rambut gondrongnya juga mendukung penampilannya. Tapi.., ia sebelas dua belas dengan Parjo. Bedanya, Arjuna masih lebih baik ketimbang Parjo kalau masalah presensi absen. Yah, meski di kelas kedua lelaki ini suka bercanda, jarang mencatat apa saja yang diterangkan oleh dosennya. Bersama tablet merek Samsung, ia asik dengan dunianya sendiri. Tak jarang juga ia meminta bantuan kepada Paijo. Masalah tugas kampus yang rumit membuat Arjuna mau tidak mau berharap kepada Paijo. Memang benar antar teman satu dengan teman yang lainnya harus selalu membantu, prinsip Paijo pun begitu. Setelah mendengar ocehan Paijo, Parjo mengambil satu batang rokok, disulutnya rokok tersebut. Asapnya membumbung tinggi memenuhi ruang kost sempit milik Paijo. Sambil menutup hidungnya, Paijo menyalakan kipas angin berukuran kecil. Mungkin Paijo merasa kepanasan, maklum Yogyakarta terbilang panas. 

Entah pagi, siang atau malam sekalipun, ia selalu menyalakan kipasnya. Kadang juga ia lepas bajunya. Namun begitu, dengan angin semilir tersebut akan cepat membuat sekujur badan Paijo segar kembali.
“Jo.., gimana?” wajahnya tampak serius, Paijo mencoba meyakinkan Parjo.
“Apanya yang gimana?” Parjo terheran-heran.
“Itu lho?
“Apa?”
“Sutijah!”
“Kampang benerrr..,”

Mukanya sedikit kesal, begitulah ekspresi Parjo kepada Paijo. Setiap kali mendengar nama Sutijah, senantiasa Parjo menghindar. Bahkan pernah suatu waktu, berlagak sok tak kenal. Padahal ia perempuan yang ia taksir. Walaupun pada akhirnya, enol persen. Tak sesuai ekspetasi yang ia gadang-gadang selama dua bulan pendekatan bersama Sutijah.
“Sudahlah, saya tak menggubrisnya. Sudah tak ada lagi ikatan tentang dia,” sentak Parjo dengan lantang. Sesekali ia senyum, tangannya mengelus dahi.
“Payah kau ini, tinggal tembak, Jo. Dooorrrr!!”

Paijo tak berhenti menggoda Parjo. Terutama Sutijah. Bisa dibilang Sutijah dan Paijo itu teman akrab. Kalau ada masalah, keduanya kerap bertukar cerita. Tak jarang Paijo mampir ke kontrakan Sutijah. Antara Sutijah dan Parjo memang pernah dekat. Seratus persen mereka saling menyukai. Kata Paijo kepada teman-temannya, Parjo sendiri yang memulai kisah asmara tersebut. Harapan Paijo sebelumnya begitu besar. Bagai seorang anak membalas kebaikan sang ayah. Meski sekarang tak jelas arah hubungan mereka berdua, namun Paijo berharap temannya tersebut saling menggenapi. Sebagai orang yang dekat, bahkan Parjo sendiri menyebut Paijo sebagai kawan satu-satunya, sudah menjadi kewajiban dan rutinitas untuk Paijo membimbing teman koplak semacam Parjo. Berbekal ilmu dan pemikiran yang acapkali menyejukkan, kalau dapat disejajarkan, macam ceramah ustad jefri, Paijo mengurus si Parjo, teman-temannya juga.
“Kopinya habis, gelasnya mungkin bocor,” tangan Parjo mengangkat gelas.
“Coorrrr.. tuh masih nyala dispensernya,” isyaratnya jelas.
“Kamu haus atau apa?”
“Begitulah saya ngopi,” cengar-cengir tanpa dosa. Menggarukkan kepalanya. Paijo senyum-senyum sendiri. Bagaimana Paijo bertingkah, tak mengherankan Parjo bisa sedekat itu dengan Paijo. Orang baik bertemu orang baik. Pokoknya kurang lebih begitu peribahasanya. Kopi hitam siap disrutup. Kali ini terasa hangat, lidah Paijo menjulur keluar.
“Cuk.. enak!” Paijo memberikan jempol kirinya pada Parjo.
“Wes tahu, sopo sek seng nggawe.”
“Alahhh!”
“Gulanya dikira-kira, jangan asal nyemplung.”
“Karepmulah...,”
Keseharian mereka seperti itu. Ngopi dan ngopi. Merokok tanpa ada yang melarang, kalau habis bergiliran siapa yang beli. Kadang yang satu bokek, satunya nguruni. Dengan ikatan seperti itu, kedua insan manusia ini serasa akan hidup damai. Keduanya saling melengkapi, saling tresno, saling tepa slira. Siapa sangka nantinya jika mereka berdua sudah menjadi orang sebenarnya, keluar kampus bergelar sarjana. Mereka akan kembali ke kampung halaman masing-masing. Merajut mimpi yang dulu senantiasa mereka ceritakan di kost. Bercanda tanpa henti, kuliah bareng-bareng, makan minum bareng-bareng, mumet yoh dinggo bareng-bareng. Sama seperti yang Paijo utarakan,
“Jo, kalau besok kita lulus dan kita menjalani kehidupan sendiri, jangan lupakan diriku.”
Selalu ada wejangan yang Paijo berikan pada Parjo. Keduanya memang berbeda. Alangkah baik jika mereka bisa menjaga ikatan itu sampai mereka tua, bahkan yang Maha Kuasa memanggil mereka. Terlepas dari itu, sehari-hari mereka berbahagia. Sedikit raut wajah sedih yang tampak dari keduanya. Bahkan secangkir kopi, rokok eceran sekalipun sudah nikmat bagi mereka. Sampai dispenser murah itu rusak karena sering dipakai, itu sudah cukup menemani mereka, khusunya Paijo sendiri.
***

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerpen Dispenser dan Secangkir Kopi Hitam Karya Faisal Nur Syamsu"