Cerpen Jalan Pramuka No. 42 Karya Faisal Nur Syamsu

Karena kau tak sendiri...

Setiap kisah yang kita lewati akan selalu kita kenang. Akan terus kita ingat. Akan kita renungkan di masa mendatang. Saat kita tak lagi berada di sini untuk empat tahun mendatang. Mungkin seperti itu bayanganku kelak. Setiap pertemuan untuk kesekian kalinya, bahkan kita rutin menghabiskan waktu di sepanjang jalan ini. Aku bahkan tak ingat sudah berapa kali kita bertatap muka di sini. Yang kuingat, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, entah aku atau dirimu yang sama-sama belum membuat janji untuk bertemu. Namun, pada akhirnya kita bertemu pandang di sini. Tepatnya di toko Ika kita bercakap-cakap saban hari. Entah lagi, apa saja yang keluar dari mulut kita, dari pikiran kita yang terus berkecambuk. Memang, jika kuterawang kita sudah terikat satu sama lain. Sebab, kapan pun kita tak bertukar kabar lewat pesan singkat atau BBM sekalipun, kita akan di sini menunggu di antara kita datang dan memberikan salam hangat setiap kali kita berjumpa. Entah lagi, aku atau dirimu yang menunggu hingga bermenit-menit bahkan berjam-jam hingga sebatang dua batang rokok yang kau sulut segera padam ujungnya. Dan sebotol teh gelas yang kau pesan juga sebentar lagi akan habis. Mengingat akhir-akhir ini kota Yogyakarta kurang bersahabat untuk kita, sebab hawa panas yang kian menyeruak membuat basah sudah baju kita, berkeringat deras tanpa bisa kita elakkan. Belum lagi jika depan toko, sepanjang jalan Pramuka itu macet, maka saranku kau perlu membawa kipas tangan. Kau kibaskan cepat-cepat sebab kau tak kan tahan dengan polusi kendaraan. Padat merayap, seperti antrean semut berjalan beriringan, saling mengekor.

Kadang jika aku datang, kau tersenyum kecut kepadaku. Jika kau yang datang, aku balik membalasnya tapi bukan lewat senyum, melainkan lewat bibir cemberut yang seolah-olah tak mengenalmu. Seterusnya, kita yang selalu riang gembira, saling tegur sapa.
“Lama sekali kau ini, kampang!!!” katamu seperti biasanya.

Aku tak kan marah meski kata terakhirmu bernada kotor. Bermakna buruk. Menjijikkan jika orang Jawa tahu akan artinya. Sebagai kawan, iya, kau sebut aku bukan sebagai teman, namun kawan. Apa ini artinya kau menganggapku lebh dari teman? Atau mungkin karena kedekatan kita, kau menganggapku saudara? Terima kasih atas penghargaanmu kepadaku. Kau saat ini adalah sahabat bagiku, sebaliknya aku di matamu juga seperti itu. Kemudian kita membeli apa yang kita butuhkan saat itu juga. Kau membeli rokok Sampoerna dan sebotol minuman terbuat dari teh, sedang aku Gudang Garam saja. Kadang, baik aku atau dirimu saling traktir bergantian. Hari ini kamu, Cal, yang bayar. Besoknya giliran kau yang membayariku. Tak seberapa memang, itu juga tak terlalu menguras kantong uang kita. Aku tak mempermasalahkannya. Dan kau juga tampak biasa-biasa saja, kalem jika aku menggambarkan tentang dirimu.
***
Rabu pagi, pukul 08.50, kita juga menyempatkan mampir ke warung langganan kita. Meski kau memaksaku sekuat tenaga, kau merayuku untuk nongkrong di warung depan kampus saja, aku tetap kekeh dengan sikapku. Akhirnya, kau pun juga yang mengalah dan mengikutiku ke sana. Pikirku, cukup warung Ikalah tempat kita melepas lelah, sebagai tempat istirahat menurutku paling nyaman di antara tempat lainnya. Seperti biasa, kau juga sudah tahu maksud kedatangan kita. Lagi dan lagi, apa yang kita beli pun sama. Tak ada perbedaan mencolok sebab rokok adalah prioritas paling utama. Kita berbicang lama di situ. Kau ceritakan masalahmu. Beberapa yang kuingat.
“Cal, besok bantuin gua ngerjain tugas PKI, ya?” kau tertawa dan aku mengiyakan saja curhatmu.
“Cuk, presensi gua udah empat kali. Matakuliah PKI lagi,” kau cengenges tanpa rasa bersalah sedikitpun, namun kau tetap tersenyum lebar, bahkan kau jadikan ini lelucon yang terkesan lucu melebihi para komedian.
“Cal.., gua minta pindah kampus sama ibu gua,” kali ini kau terdiam, hening beberapa detik sebelum aku berhasil memotong ucapanmu. Dirimu yang ceria tak menampakkan raut wajah kebahagiaan. Kau sedang dilema kawan. Sebab bilamana kujujur, aku akan memberimu sugesti supaya kau betah berlama-lama di kota Gudeg ini.

Sementara aku di sampingmu menyimak baik-baik apa yang kau lontarkan dari mulutmu. Tak jarang aku terbawa suasana yang kau hadirkan. Seolah saat itu aku menjadi orang paling bijak sedunia, aku adalah seorang yang dewasa, seorang yang berilmu tinggi namun bersahaja. Padahal, sampai saat ini pun aku belum mampu memanage diriku. Masih banyak masalah yang belum selesai aku urus, malahan semakin menjadi-jadi, bertumpuk-tumpuk, dan pada akhirnya aku sendiri yang kewalahan. Selanjutnya, giliran aku yang mengutarakan segala gundah gelisah yang kumiliki. Kini kau harus mendengarkan secara baik-baik, kau tak boleh melewatkan setiap jengkal kata-kata yang berbaris rapi dari kawanmu satu ini. Apa yang kualami sepanjang hari, kini bebas lepas kau sambut dengan meriah. Rasa senang, sedih, kesal, kecewa, dan aneka emotif yang bercampur aduk menjadi satu. Semua itu terasa lega saat aku berhasil mengutarakannya padamu. Tentu kau akan senang dengan semua ini karena kita merasa perlu untuk berbagi. Terlebih dirimu yang masih acak-acakan, bukan rambut hitam panjang milikmu melainkan sisi kehidupan perkuliahanmu juga sekitar kehidupan kostmu bersama kakak kandungmu.
“Seandainya kau lulus terlebih dahulu, sedang aku terakhiran, elu mau kan bantuin nyelesain kuliah gua?” kau memohon kepadaku, sontak aku terenyuh terhadapmu. Jujur tanpa ada rasa kebohongan dariku, aku ingin sekali menangis di hadapanmu saat itu juga. Tak usah jauh-jauh aku membicarakan tentang air mata sebab saat kau utarakan ketakutanmu, saat itu pulalah setitik air telah mengalir dari mataku meski kau tak melihatnya secara gamblang. Aku membuang muka agar kau tak simpati padaku. Agar kau tak perlu khawatir keadaanku. Aku baik-baik saja. Karena justru yang aku khawatirkan adalah dirimu, bukan aku.

Kau berucap lagi, lebih melebar dari sebelumnya. Tentang masa depan kita. Tentang kepastian kita yang kelak menjadi seorang pendidik.
“Apakah elu yakin ingin jadi guru?” kau menatapku serius. Kau sedang tak ingin bercanda atau bertingkah konyol. Kau tenggak minumanmu lalu menghisap batang rokok yang kau sulut. Kali ini kau memenangkan kebijakanku, memenangkan kedewasaan yang kupunyai.
“Ya, insyaAllah, Nang. Bahkan bukan guru, gua pengin jadi dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. Kalau tidak, yah kembali lagi ke kampus tercinta kita,” ujarku sedang menerawang langit biru. Pagi ini begitu cerah. Awan putih tampak jelas oleh pupil mataku. Indah kupandang seraya berimajinasi.
“Orang semacam elu mah gua yakin emang bisa, gua percaya, tapi kalau gua kayaknya susah, Cal,” kau meremas botol minumanmu hingga bengkok tak berbentuk lalu kau lempar ke tong sampah.
“Kalaupun susah, menurut gua itu tergantung cara dan strategi elu berkuliah aja kok,” aku semakin bijak, “ngapain dibuat runyam, lagian ada gua kok yang setia ngebantuin elu, Cuk. Santai saja,” kutepuk pundak kananmu dan kurangkul pelan tapi cukup erat sampai aku tak ingin melepaskannya.
“Entahlah besok ke depannya gimana,” kini kau memperlihatkan semburat senyum tipis yang kau miliki. Tak kalah dengan senja sore yang setiap hari kunikmati di lantai dua kontrakanku. Wajahmu pun bersinar-sinar. Perlahan namun pasti kau kembali seperti biasa, konyol dan acak-acakan. Iya, aku malah menyukainya daripada kau terpuruk, terjerembap oleh masalah yang kau buat rumit sendiri.
***
Selasa siang sekitar pukul 12.30, setelah mengikuti perkuliahan Teknik Wawancara. Sama sebelumnya, kita duduk-duduk di depan toko Ika. Tak perlu aku ulang kembali sebab masih seperti hari-hari kemarin. Nongkrong tak jelas. Hanya menatap lalu lalang kendaraan bermotor yang tiada henti mempercepat lajunya. Orang-orang yang kebanyakan melewati kita adalah mahasiswa kampus kita. Dan pertanyaan-pertanyaan klise pun selalu menghiasi hati dan pikiranku di setiap perjumpaan kita. Namun, kadang sesuatu hal yang berada dalam benakku tiba-tiba menghilang dalam keramaian jalan Pramuka. Tenggelam bersama bisingnya deru kendaraan bermotor, lalu hilang entah ke mana. Paling-paling kalaupun itu muncul lagi, akan aneh kusampaikan padamu. Detik demi detik tergantikan menit, lalu hening sesaat. Kita terlena bersama bayang-bayang kita. Aku juga sedang memikirkan tema apa yang ingin aku perbicangkan agar perjumpaan kita yang terlampau sering ini tak terlalu beku dan membosankan.

Kau tahu, sejak pertama kali aku melihatmu, kemudian kita saling berkenalan, lama-lama kita dapat seakrab seperti sekarang ini. Aku mensyukurinya sebab pertemanan ini berharga. Dan aku ingin perjelas lagi tentang awal perkenalan kita. Tahuku, kau ini anak yang badung, pemabuk, judes, dan kesan mencolok yang kau tunjukkan melalui penampilanmu. Berandal. Urakan. Namun, lihatlah sekarang, aku menganggapmu sebagai saudaraku sendiri. Kau yang selalu merasa ingin sendiri, asik dengan duniamu tanpa seorang pun mengganggu keberadaanmu. Sama. Kukatakan.
“Bagi gua, sendiri dan menyepi itu amatlah menyenangkan. Gua bebas melakukan apapun yang  gua mau, yang gua suka, dan sekalipun teman-teman meninggalkan gua sendirian di kontrakan, malah sebaliknya gua merasa senang,” aku jujur padamu.
“Sama, Cal. Aneh kalau di sekitar gua sedikit ramai, apalagi bergerombol. Terasa asing. Tapi kecuali elu dan Galih. Kalau menurut elu, gua orangnya kayak apa?”

Beri sedikit waktu untuk menjawab pertanyaan singkat darimu.
“Elu dan gua banyak kesamaan, Nang,” simpel nan padat. Aku tak perlu menelurkan untaian kata manis seperti aku membuat puisi atau tulisan sastra. Itu cukup memberikan pemahaman untukmu. Kau adalah bagian dari diriku yang setengahnya. Kesendirianku ini juga kesendirianmu meski kita berbeda atap dan jarak yang terbilang cukup jauh untuk aku jangkau. Aku tetap tak mempermasalahkannya asal dalam kamus kita baik-baik saja.
***
Karena jeda perkuliahan kita masih lama, kuputuskan untuk mengajakmu mampir ke gubuk milikku. Ya, sebuah kontrakan terbilang sederhana. Dan kau juga sudah tahu letak kamarku. Setiap kali kau mampir, seketika juga kamarkulah yang kau tuju pertamakali. Di sana, biasanya kau lepas bajumu lalu kau gantungkan di dinding kamarku. Kau duduk bersila begitu tenang di hadapanku dan tangan kecilmu menyaut laptop milikku. Kau putar lagu favorit yang kau simpan di laptopku. Kemudian kau resapi setiap bait lirik yang terucap, kadang kau juga menyanyikannya meski terdengar cempreng di telingaku. Tak apa, aku tetap menyukainya. Bila itu tak cukup membuatmu puas, kau berdiri berjalan menuju kamar sebelahku. Kau ambil gitar temanku dan mulai memetik sinar gitar. Tahukah kau, itu adalah momen yang aku tunggu sebab aku menikmati pertunjukan alakadarmu. Lantas, aku ikut berdendang bersamamu, mengikuti setiap irama dan nada yang kau hasilkan lewat gitar tersebut. Dan selama waktu kita berdua, yang aku tahu dan aku rasakan, raga dan jiwaku hanya untuk dirimu. Kita menyatu. Kau yang merasa setia dan tak ingin meninggalkanku barang sedetik pun. Aku pun begitu. Pikiranku meyakini bahwa ini semua untuk mengusir semua sedih dan rerengan kesepian yang beberapa bulan ini mengusik hati. Semua itu karena ulahmu, siapa lagi selain dirimu? Orang yang kukasihi penuh perhatian.

Katamu siang itu.
“Mau nyanyi lagu apa?” kau memintaku memilih lagu. Apa itu bisa?
“Terserah elu, sih. Gua kan sebatas penikmat, gua ikut elu aja. Tapi, kalau bisa lagu yang kalem,” jawabku apa adanya. Sedang aku meneruskan jemariku yang tengah menari di atas keyboard laptopku. 

Kau terus melantukan lagu demi lagu sesuai pesananku. Hingga lagu terakhir yang kau nyanyikan itu selesai dan kau tersenyum sumringah. Sinar wajahmu berkilau. Raut di wajahmu tanda bahagia, sementara aku sedang resah dengan tulisanku yang tak kunjung selesai.
“Gimana, Cal?” kau menyuruhku untuk menjadi juri audisi.
“Bagus, moodku sekarang semakin membaik berkatmu,” simpel karena aku tak tahu-menahu tentang musik, apalagi keterampilan bermain alat musik. Payah.

Pukul 16.00 di kontrakan.

Detik demi detik berlalu berganti menit. Aku tak merasa bila waktu begitu cepat berlalu, padahal baru saja kita melepas lelah. Kini kulihat lewat jendela kamarku, sore datang membayang. Kita beranjak dari lamunan kita beberapa saat. Kita ada kuliah sore ini.
“Ayo, Nang!” aku mengulurkan tangan kananku.
***
Setelah melewatkan satu setengah jam berada di kelas, perkuliahan sore ini akhirnya selesai. Kita pulang. Tapi, kita mampir sebentar di warung langganan kita. Kau pasti mau, ini adalah rutinitas kita. Dan kau mengangguk tanda setuju akan pintaku. Memang nongkrong kali ini tak lama seperti sebelumnya, mengingat malam sudah menyelimuti keberadaan kita. Karena tidak ada satu pun orang yang melewatkan malam untuk beristirahat, kecuali untuk orang-orang yang masih kekeh melakukan aktivitasnya. Kita habiskan dulu sebatang rokok dan cemilan ini, lalu kita pulang.
“Santai aja, elu gak terburu-buru, kan?” aku bertanya sopan.
“Enggak, kok, Cal,” kau menjawab santai. Asap rokokmu mengudara. Mengepul menjadi satu. Pekat berwarna putih. Tapi aku menyukainya. Aku mengirup aromanya, tenang kurasa hingga penat perkuliahan tadi seakan hilang dari benakku.

Kita pulang setelah ini.
***
Sepanjang waktu yang kulalui, yang aku kerjakan hanyalah menulis, menulis, dan menulis segala peristiwa yang kutemui. Seringnya aku menggoreskan setiap rasa yang mengganjal di hatiku, yang menjadi kegundahan, dan kegelisahan yang tiada ujungnya. Bersama laptop yang tak pernah mengeluh lelah maupun kesal sebab setiap hari aku mengajaknya menulis. Seandaianya ia dapat kuajak bicara, mungkin ia akan membangkang, berontak keras seperti romusha zaman Jepang.

Hariku terlewati dengan berpuluh-puluh, beratus, bahkan sekarang ini berjuta kata yang telah tertuang menjadi berbagai jenis tulisan. Itu semua adalah goresan perasaan akan berbagai hal yang kurasakan setiap hari. Goresan yang menggambarkan jiwa dan hati tuannya. Oleh tuannya sedang berusaha mencari apa sesungguhnya arti kehidupan ini. Semakin bertambahnya usia, semakin banyak pula kisah-kisah menarik kutemui dan perlu aku tuliskan. Berharap di masa mendatang, ada salah seorang di antara puluhan temanku yang berkenan membaca. Tapi jika ada yang bersedia.

Dan sepanjang jalan Pramuka No. 42 ini, cerita maupun kisah-kisah kita terangkum menjadi satu. Sebuah tempat nongkrong paling asik yang pernah kita sambangi. Karena di tempat itulah kepingan-kepingan memori hidup kita peroleh. Kita yang sedang berjuang mencari jati diri dari kerasnya hidup yang berkecambuk, terus berjalan, tanpa ada ruang sedikitpun untuk kembali. Yang tak seorang pun akan mengerti tentang jalan ini. Tentang kita tentunya.

(Kampus 2 Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, jalan Pramuka No. 42, Sidikan, Umbulharjo, Yogyakarta)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerpen Jalan Pramuka No. 42 Karya Faisal Nur Syamsu"