Lost One Love and Lost Contact



          “Bersediakah kau menemani aku di sini? Mendengarkan setiap dentingan air hujan yang turun secara perlahan, kemudian bunyi gemercik ini tak kalah merdu dengan lagu favorit kita.”

Rio menuliskan kata-kata manisnya melalui telepon genggamnya untuk Fani, kekasihnya beberapa hari yang lalu. Lantas ia kirim pesan singkat itu dengan harap-harap cemas. Itu sudah jelas terjadi sedari dua tahun yang lalu mereka jadian. Kata-kata Rio sore itu adalah yang pertama terucap setelah Fani meminta putus darinya. Sebelum ada kata pisah dari hubungan mereka saat itu, mereka menjalaninya seperti pasangan kekasih lainnya.

Secangkir kopi hangat yang ia pesan beberapa menit yang lalu sekarang sudah dingin. Bukan cuaca yang menyebabkan kopinya cepat dingin, tetapi pertemuan dan percakapan yang membeku, yang tak pernah ia duga atau ditebak dari biasanya. Malahan  kini ia terlarut dalam kesunyian. Hanya udara dingin yang menusuk-nusuk tulang sukmanya, hanya pegawai kedai kopi yang sekilas memperhatikan lalu kembali sibuk melayani pengunjung yang datang, dan beberapa pengunjung menikmati alunan lagu yang dibawakan home band milik kedai kopi. Rio masih terdiam di meja nomor delapan.

Ketika awan di ufuk barat masih menghitam, matahari tenggelam tanpa ada tanda-tanda adanya terang. Ia terpaku terdiam tak bergerak. Lidahnya kelu dan hatinya beku. Ini adalah sore yang kelabu untuknya. Bahkan otaknya enggan untuk berpaling menghadap jendela kedai kopi. Titik embun yang membasahi kaca jendela, memberikan gambaran ia ingin menitikkan air matanya, seperti rintik hujan yang turun perlahan di kaca jendela itu. Tetapi ia tak mampu melakukannya sebab ia adalah lelaki yang tegar. Rio mengeluarkan sebungkus rokok dari jaket tebalnya. Ia ambil sebatang rokok lalu menghisapnya tanpa waktu lama. Ujungnya merah menyala, setiap napas adalah asap berwarna putih mengepul di udara. Ia merasa tenang, namun sesekali ia meremas bungkus rokoknya, bahkan telepon genggamnya ia banting di atas mejanya. Tanpa berpikir rusak atau tidaknya karena melihat pesan terakhir dari kekasihnya saja sudah kesal sendiri. Diketuk-ketuknya meja makan itu dengan telunjuk tangannya. Raut wajahnya kian cemas, gelisah, dan keresahan yang terus memburunya tiap detik. Dua puluh menit yang lalu, pesan singkatnya pun sudah terbalas.

            “Ngapain? Ada yang perlu kita bicarakan lagi? Tentu sudah jelas bagiku, kita berbeda keyakinan. Itu pun jarak memisahkan kita.”

Ekspresinya kian menurun, tak memperlihatkan bahwa ini bukan Rio yang biasanya. Rio yang sekarang hanyalah sepi itu sendiri. Mengurung sendiri di pojok kampus atau sekadar duduk-duduk di perpustakaan, dan jelasnya ia menghindari keramaian orang. Ia tenggelam dalam dosa-dosanya. Kesalahan sekecil apapun itu telah merusak segalanya. Apa yang semestinya begini, tak tentu berkesudahan secara rapi maupun indah. Tak berjalan sesuai rencana, hingga melenceng dari pemikiran sebelumnya. Bahwa ia berniat untuk meneruskan hubungan ini sampai pelaminan, ia kenalkan kepada kedua orangtuanya. Sembari merampungkan sesi kuliah empat tahun ini, ia masih berharap lebih agar semua membaik seperti semula. Sapa ramah dari seorang Fani, setiap pagi dan setiap hari yang ia temui ada Fani di sisinya. Belum lagi janji satu tahun lalu, saat mereka secara implisit menjelaskan secara detail maksud keduanya.

            “Aku ingin berada di sisimu hingga waktu memisahkan kita. Aku ingin serius denganmu.”

Bukan Rio, bukan juga Fani, mereka menyakini pandangan empat tahun mendatang. Rio menyandang gelar sarjana pendidikan, sedang Fani sarjana ekonomi. Yah, terbilang cocok, bahkan impian bagi setiap lelaki yang beruntung merengkuh gadis dari fakultas ekonomi. Pikirnya ia akan menjadi ibu yang cerdas mengelola keuangan keluarga. Otomatis pula kinerja suami tak terasa berat. Itu adalah bayangan Rio dua tahun lalu. Ia katakan terus terang di hadapan Fani. Sungguh, nasib atau takdir yang mereka lewati? Akankah ada perubahan? Dan hujan sore ini perlahan reda. Keheningan sementara tergantikan suara jangkrik yang menyambut malam. Kilatan cahaya putih yang tadi menyambar-nyambar, suara gemuruh petir memekikkan telinga, beserta angin yang mulai intens menurunkan kecepatan lajunya. Namun, udara dingin masih menyergap tubuh kurusnya, begitu pula membalut kepedihan hatinya sekarang ini. Hujan ini semakin membuat lara Rio. Bagaimana tidak dua tahun bersama Fani ia habiskan setiap momen, beberapa kali tertangkap hujan sedang berduaan. Berteduh di emperan toko, warung pinggiran yang mendadak ia temui, dan pelukan menyambut kehangatan dari seorang Fani. Dan hujan pulalah yang membuat mereka terpisah. Saat Fani dirundung rindu, kehadiran Rio yang tak kunjung datang, keyakinan mereka akan agama, jarak, dan berbagai emosi yang menghiasinya.

Rio kini bersiap untuk pulang. Disambarnya tas seukuran buku miliknya, lalu berderap keluar kedai kopi. Menembus rinai hujan yang malah deras kembali. Ia tetap memaksa pulang untuk segera bertemu Fani.

***

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Lost One Love and Lost Contact"