Makalah Penerapan Teori Hermeneutika dalam Sajak Abu Gunung Kelud di Yogyakarta Karya Abdul Wachid B.S

Kita tahu, tidak semua orang mampu memberikan interpretasi terhadap sebuah karya sastra, terutama terhadap sajak (puisi). Oleh sebab itu, perlunya suatu pendekatan tertentu untuk menangkap setiap makna maupun interpretasi tersendiri dari setiap karya. Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai interpretasi karya sastra berupa puisi melalui teori Hermeneutika. Apa dan mengapa harus  menggunakan teori ini? Satu informasi penting bagi sahabat SI sekalian, bahwa makalah ini dibuat dengan mengacu pada susunan seperti jurnal ilmiah. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Selamat membaca.


PENERAPAN TEORI  HERMENEUTIKA
DALAM SAJAK ABU GUNUNG KELUD DI YOGYA
KARYA ABDUL WACHID B.S

Faisal Nur Syamsu
1400003222
icalpbsiuad2@gmail.com
Semester Empat Kelas D
PBSI, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan

ABSTRAK

Sastra merupakan wadah pengarang dalam menuangkan ide, gagasan, dan ekspresi jiwanya. Karya sastra dapat dipahami secara menyuluruh dan utuh dengan jalan penggunaan rasa dan teori yang ingin dikaji pada suatu karya sastra. Karya sastra selain dapat hadir sebagai sebuah dunia yang memiliki totalitas, dan mengemban makna sebagaimana dirinya sendiri, juga dapat dipahami secara lengkap dengan cara menghubungkan karya itu dengan aspek latar belakang pengarang, sosial, dan  budaya, khususnya latar belakang pengarang tersebut. Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menganalis apa saja yang terkandung dalam sajak “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya” karya Abdul Wahid B.S. Pemaparan dalam penelitian ini mengarah pada teori hermeneutika interpretasi. Teori yang digunakan dalam penelitian analisis sajak “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya” karya Abdul Wahid B.S ini meliputi teori metafora, teori simbol dan teori konsep dalam hermeneutika interpretasi Paul Ricoeur.

Kata Kunci : metafora, simbol, Paul Ricoeur, hermeneutik




A.    Sekilas Mengenai Karya Sastra
      Karya sastra merupakan suatu proses komunikasi antara pengarang dengan pembaca melalui media bahasa. Sastra merupakan wadah pengarang dalam menuangkan ide, gagasan, dan ekspresi jiwanya. Karya sastra dapat dipahami secara menyuluruh dan utuh dengan jalan penggunaan rasa dan teori yang ingin dikaji pada suatu karya sastra. Karya sastra selain dapat hadir sebagai sebuah dunia yang memiliki totalitas, dan mengemban makna sebagaimana dirinya sendiri, juga dapat dipahami secara lengkap dengan cara menghubungkan karya itu dengan aspek latar belakang pengarang, sosial, dan  budaya, khususnya latar belakang pengarang tersebut. Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Kehidupan itu mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan orang seorang, antar manusia dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, bahkan hubungan antar manusia dengan Tuhan. Karya sastra merupakan liputan peristiwa kehidupan yang tidak lepas dari realitas sosial masyarakatnya, tidak lepas pula sosok pribadi manusia yang melatarbelakangi pembuatan karya sastra

B.     Permasalahan dalam Karya Sastra
      Karya sastra merupakan bagian dari produk seni dan budaya masyarakat yang menggunakan media bahasa. Setiap karya sastra memang selalu menarik untuk dikaji. Begitu pula sajak “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya” karya Abdul Wachid B.S. Alasan pertama, penulis tertarik memilih sajak Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya karya Abdul Wachid B.S karena sajak ini adalah karya sastra yang mempunyai kandungan pesan, makna yang begitu dalam, dan juga kata-katanya yang sederhana namun mudah dimengerti serta dipahami. Kedua, penulis memilih sajak Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya karya Abdul Wachid B.S karena sebagian besar sajak Abdul Wachid B.S sebelum diterbitkan dalam sebuah buku terlebih dahulu dimuat di surat kabar lokal yang menjadi tempat sejarah tersebut lahir dan berkembang.
      Selanjutnya, dalam makalah ini akan dilakukan pembahasan mengenai salah satu sajak Abdul Wachid B.S berjudul Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya. Memang bagi orang awam, sebuah sajak merupakan suatu karya sastra yang tidak mudah untuk memahaminya. Unsur-unsur seni dalam karya satra puisi dapat menggambarkan pengalaman batin atau perasaan yang sedang dialami oleh penulis. Oleh sebab itu, memahami puisi bukan hanya sekadar membaca bungkusnya saja, tetapi kita perlu memahami isi dan pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang melalui sajak tersebut.
      Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat memahami suatu sajak kita harus menganalisis terlebih dahulu sajak yang akan dipahami guna mengetahui setiap pemaknaan yang diberikan oleh penyair pada karyanya. Kembali lagi, memang itu semua membutuhkan proses dan waktu lama, namun tidak menjadi sebuah halangan bagi orang-orang tertentu yang ingin sekali memahami setiap kata pada sebuah sajak, beserta pesan dan makna yang terkandung di dalam karya sastra itu. Untuk memudahkan pemahaman akan sastra, terutama pada sebuah sajak, salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahami sebuah sajak adalah dengan menggunakan teori hermeneutika. Dalam makalah ini, penulis menggunakan teori hermeneutika yang diungkapkan oleh Paul Ricoeur.

C.    Landasan Teori Penelitian yang Digunakan
1. Definisi Hermeneutik
Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘penafsiran’ atau interpretasi. Hermeneutik dapat diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’. Hermeneutik, meskipun merupakan topik tua, akhir-akhir ini telah muncul sebagai sesuatu yang baru dan menarik dalam bidang filsafat. Hermeneutik seakan telah bangkit kembali dari masa lalu dan dianggap penting.
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan pada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Intrepretatione. Yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu.
Menurut Aristoteles , tidak ada satupun manusia yang mempunyai, baik bahasa tulisan maupun bahasa lisan, yang sama dengan yang lain. Bahasa sebagai sarana komunikasi antarindividu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang satu berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang berbeda. Bahkan pengalihan arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu akan muncul lebih banyak lagi jika manusia saling mengkomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tertulis.
Dalam bentuk tertulis, tidak hanya ejaan dan rangkaian huruf-huruf yang berbeda, namun kesamaan bunyi juga akan muncul (ekuivokal) seperti misalnya kata ‘genting’ yang dapat berarti ‘gawat’ atau ‘atap rumah’ atau ‘sempit’. Dalam Categoriae yang selalu disampingkan dengan De Intrepretatione, Aristoteles memisahkan antara homonim, sinonim dan kata-kata turunan. Dalam hal-hal seperti ini, orang kemudian biasanya menurunkan arti kata-kata berdasarkan konteks yang ada. Akan tetapi, ada juga beberapa kesulitan dimana kita tidak dapat menurunkan saru arti pun dari sebuah konteks, atau bahkan lebih parah lagi kita mungkin menurunkan arti atau makna dari konteks yang sama. Untuk menanggulangi hal-hal semacam ini maka hermeneutik kiranya akan berperan penting.

2. Konsep Interpretasi Teks Paul Ricoeur
Hermeneutik adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoeur dalam Kurniawan, 2013:18) sedangkan (Palmer dalam Kurniawan, 2013:18) menjelaskan bahwa dua fokus dalam kajian hermeneutik mencakup; (1) peristiwa pemahaman terhadap teks, (2) persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interprestasi. Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeneutik adalah “pemahaman (understanding) pada teks”.
Menurut Ricoeur (dalam Kurniawan ,2013:18) menjelaskan bahwa teks adalah sebuah wacana yang dibakukan lewat bahasa. Apa yang dibakukan oleh tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan. Di sini, terlihat bahwa teks merupakan wacana yang disampaikan dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana, yang dituliskan dalam hermeneutik Paul Ricoeur, berdiri secara otonom, bukan merupakan turunan dari bahasa lisan. Dalam hal ini,  Ricoeur menekankan kajian hermeneutiknya pada pemahaman teks (otonomi semantik teks), yang interprestasinya didasarkan pada teks.
Makna atau sense berarti menunjukkan pada isi proposisional, seperti sintesis dua fungsi: identifikasi dan predikatif. Penekanan dan pelampauan peristiwa dalam makna inilah yang menjadi ciri utama wacana. Konsep makna ini mengacu pada apa yang dilakukan pembaca dan apa yang dilakukan kalimat. Makna teks sebagai proposisi merupakan sisi proposisi “objektif” makna ini. Sisi “objektif” wacana itu sendiri bisa dijelaskan dengan dua cara berbeda. Boleh diartikan “apa” tentang “apa” wacana dan “tentang apa” wacana. “apa”-nya wacana adalah sense dan “tentang apa” adalah reference-nya. Jika sense itu imanen terhadap wacana dan objektif dalam arti ideal, sedangkan reference mengungkapan gerak ketika bahasa melampaui dirinya sendiri. Dengan kata lainsense berkolerasi dengan fungsi identifikasi dan fungsi predikatif dalam kalimat, dan reference menghubungkan bahasa dengan dunia.

3. Teori Metafora
Metafora berasal dari kata Monroe, adalah “Puisi dalam miniatur”. Metafora menghubungkan makna Harfiah dengan makna figuratif dalam karya sastra. Metafora dianggap sebagai kreasi sejenak, suatu inovasi semantik yang tidak memiliki status dalam bahasa yang mapan, dan yang hanya ada karena atribusi predikat yang tidak diharapkan. Dengan demikian metafora lebih menyerupai pemecahan teka-teki daripada asosiasi sederhana yang didasarkan pada persamaan. metafora disusun oleh suatu pemecahan disonansi. dengan demikian pada teori modern, metafora berhubungan dengan semantik (Proposisi) sebelum berhubungan semantik kata.
Metafora merupakan hasil ketegangan antara dua kata dalam suatu tuturan metaforis. Ricoeur (dalam Kurniawan, 2013:23) menganggap bahwa metafora adalah sebuah kalimat atau bentuk ekspresi lainnya yang kata-katanya digunakan secara metaforis. Makna metafora akan diperoleh melalui sedikitnya proposisi atau kalimat sebagai unsur terkecil wacana dan bahasa bila dipergunakan dalam kalimat. Demikian halnya dengan puisi akan menemukan eksistensinya setelah diapresiasi.
Aristoteles menjelaskan bahwa metafora adalah penerapan kepada suatu benda nama yang termasuk sesuatu yang lain, interferensi yang terjadi dari jenis ke spesies, dari spesies jenis, dari spesies atau secara proporsional. Tujuan majas adalah mengisi tempat kosong semantik dalam kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh karena itu metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan kata itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui pemakaian biasanya (Ricoeur dalam Kurniawan, 2013:23).

4. Teori Simbol
Asal kata simbol (symbol) berasal dari Yunani, yaitu symballein, yang berarti melontar bersama (Hadi W.M, 2001: 89). Namun, Paul Ricoeur dengan seksama menjelaskan bahwa simbol yang berasal dari Yunani tersebut bukanlah symballein, melainkan “sumballo” yang berarti menghubungkan atau menggabungkan (Poespoprodjo, 2004: 117). Jelas ada perbedaan karena definisi simbol yang dikutip oleh Abdul Hadi W.M berdasar kepada pendapat Hans-Georg Gadamer, sedangkan Ricoeur tidak mengikuti pemahaman Gadamer secara total, justru mengkritisinya. Paul Ricoeur menilai bahwa simbol mengandung pemikiran. Ricoeur (2002: 125) mengatakan bahwa simbol ditengarai secara memadai melalui bahasa imajiner sehingga memungkinkan adanya suatu corak yang secara seksama dicangkup para pemikir konseptual.
Simbol dalam bahasa Inggris “symbol” uang berarti “lambang”. Simbol adalah lambang yang mewakili nilai-nilai tertentu. Wujud dari perwakilan ini sesungguhnya bukanlah sebuah kesamaan. Wujud tersebut lebih merupakan persamaan untuk mengilustrasikan fenomena, yaitu antara realitas sebelumnya dengan sesuatu yang digunakan untuk menjelaskan realitas tersebut di dalam teks. Dari ungkapan itu diketahui bahwa pada hakekatnya simbol menerangkan adanya bentuk analogi. Bentuk analogi inilah yang dapat membentuk simbol untuk mengilustrasikan pemikiran atau realitas imajiner. Karena itu, simbol sering muncul dalam puisi untuk mewakili ungkapan penyair mengenai fenomena yang tidak dapat dilihat dengan mata, tapi dirasakan keberadaannya.

5. Motede Hermeneutika Paul Ricoeur
Penafsiran, telaah atau interpretasi dipelajari dalam ilmu sastra. Ilmu sastra peka tanggapan terhadap pendekatan dan keanekaragaman jenis tafsiran terhadap cara atau metode sebuah penafsiran. Menurut Luxemburg dkk (dalam Pradotokusumo, 2005:58) ada enam jenis pokok pemikiran yang membedakan penafsiran antara lain:
a.       Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat bahwa teks sudah jelas.
b.      Penafsiran yang berusaha untuk menyusun kembali arti historik.
c.       Penafsiran hermeneutik, yaitu keahlian yang menginterpretasikan karya sastra yang terutama diwakili oleh Gadamer yang berusaha memperpadukan masa lalu dan masa kini.
d.      Tafsiran-tafsiran yang dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra
e.       Tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada suatu problematic tertentu, misalnya permasalahan psikologi dan sosiologi
f.       Tafsiran-tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sebuah teks diartikan. Pendekatan yang berkiblat pada pembaca yang disebut estetika-reseptif.

Sejalan dengan uraian di atas, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori hermeneutika Paul Ricoeur yang mencakup atas metafora dan simbol. Adapun tahap penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
a.       Melakukan pembacaan cermat terhadap objek penelitian yang telah ditetapkan.
b.      Melakukan pemilihan sampel sebagai data yang akan digunakan untuk penelitian.
c.       Melakukan pengumpulan data-data tambahan yang mendukung penelitian ini.
d.      Melakukan analisis secara cermat terhadap metafora dan simbol yang terdapat dalam puisi yang digunakan sebagai bahan analisis. Adapun langkah kerja analisisnya mencakup: Pertama, langkah objektif (penjelasan), yaitu menganalisis dan mendeskripsikan aspek semantik pada metafora dan simbol berdasarkan pada tataran linguistiknya. Kedua, langkah-langkah refleksif (pemahaman), yaitu menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu (referrence), yang pada aspek simbolnya bersifat non-linguistik, langkah ini mendekati tingkat ontologis. Ketiga, langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan metafora dan simbol sebagaititik tolaknya.
e.       Merumuskan kesimpulan atas penelitian yang telah dilakukan.

D.    Hasil Pembahasan Sajak “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya”
          Sebelum mengkaji menggunakan teori dan metode yang sudah dipaparkan di atas, akan disajikan sajak “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya” karya Abdul Wachid B.S sebagai berikut :

Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya

di pagi ini seperti malam
meleleh abu di daundaun
di rerumputan, di jalanjalan
tidak ada sumbu yang

bisa dinyalakan menjadi terang
memutih semua dan segala
menutup pandang mata
menutup pintu dan jendela

tetapi di dalam rumah hati
justru semua pintu jendela membuka
menjadilah panorama
dibaca oleh mata cinta :

di pagi ini di setiap butiran debu
di setiap butiran hujan
menjadi kendaraan malaikat
untuk mendekatkan kembali

antara langit dan bumi
memberi salam kepada para nabi
membagi salam kepada para kekasih
lalu turunlah hujan yang membawa kebaikan

kau aku bersaksi dalam sahadat
kau aku merayakan shalawat
di pagi ini memang tidak ada burungburung
tetapi hati kau aku yang
menerbangkan doadoa dhuha ke tahta yang
maha
hyang

                   jumat, 14 februari 2014

     1.      Metafora yang Terdapat Pada Sajak  “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya”
            Bait pertama yang terdapat pada sajak berikut ini, penyair mendeskripsikan kepada para pembaca tentang keadaan sekitar Yogyakarta. Terutama pada Jumat pagi hari, tertanggal 14 Februari 2014. Pagi hari yang seharusnya cerah dan terang, namun penyair melihatnya secara berbeda. Pagi yang biasanya cerah kini seperti malam sebagai imbas dari abu vulkanik akibat meletusnya gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur. Sebaran abu dari gunung tersebut sampai dan menutupi wilayah Yogyakarta waktu itu. Gambaran metafora yang nampak dari bait ini jelas terlihat melalui pagi ini seperti malam.
            Baris kedua, kata meleleh berkonotasi sebagai tebaran. Bahwa pada fakta yang ada, sebaran abu gunung Kelud benar-benar menyelimuti wilayah Yogyakarta. Meliputi semua objek, abu tidak hanya menempel atau bertebaran di daun-daun, di rumput, atau di jalan, melainkan seluruh tempat tertutupi oleh abu gunung Kelud.

a.      di pagi ini seperti malam
meleleh abu di daundaun
di rerumputan, di jalanjalan
tidak ada sumbu yang

      Pada baris yang ketiga, metafora juga terdapat pada tidak ada sumbu. Hal itu mengisyaratkan, kejadian yang dilihat oleh penyair di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya memang begitu gelapnya. Bisa digambarkan pula, mulai dari lampu penerangan di sepanjang jalan hingga sinar matahari pun tak mampu menembus derasnya hujan abu gunung Kelud.

b.      bisa dinyalakan menjadi terang
memutih semua dan segala
menutup pandang mata
menutup pintu dan jendela

      Pada bait kedua ini penyair membaca situasi dengan cermat. Bahwa saat kejadian atau peristiwa berlangsung, semua objek yang terdapat di Yogyakarta terkena dan diselimuti oleh abu gunung Kelud. Semua tempat serba putih, jarak pandang terbatasi, pintu dan jendela pun benar-benar terselimuti oleh abu tersebut. Indikasi yang ada, tidak banyak kegiatan yang dilakukan warga Yogyakarta di luar rumah, termasuk penyair sendiri.
      Dari sedikit ulasan di atas, logikanya hal demikian merupakan peristiwa atau kejadian yang mengarah kepada kesedihan dan penderitaan. Penyair melalui kata-kata pada bait kedua ini seolah-olah turut serta merasakan apa yang mereka rasakan ketika musibah datang. Mulai dari lumpuhnya aktivitas warga Yogyakarta, warga desa yang harus mengungsi, hingga sebagian orang harus menjalani medis sebab abu gunung Kelud menyasar kesehatan masyarakat Yogyakarta. Dari kesedihan dan derita yang dialami warga Yogyakarta sendiri, penyair hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk sesamanya. Pun demikian, melalui sajak yang telah terdokumentasikan ini semoga bisa menjadi pembelajaran dan menjadi hikmah bagi semua orang.

c.       tetapi di dalam rumah hati
justru semua pintu jendela membuka
menjadilah panorama
dibaca oleh mata cinta :

            Pada bait ketiga, penulis mengungkapkan perasaan yang dimiliknya dengan berpadu pada hal konkrit yang ditemuinya sehari-hari. Manusia diberikan anugerah dari Tuhan berupa akal, pikiran, dan hati. Ketiga hal tersebut mempunyai perannya masing-masing. Terlebih berbicara hati manusia yang teramat peka untuk merasai segala sesuatunya. Gambaran tersebut dapat kita tangkap melalui metafora rumah hati dan mata cinta. Sejatinya pula, manusia adalah makhluk sosial yang bergantung satu sama lain. Salah satu sikap yang dimiliki manusia adalah adanya kepedulian antar sesama manusia. Melalui baris ini, penyair mengajak pembaca untuk peka dan ikut untuk peduli. Sikap tersebut dapat terwujud semisal, adanya rasa tenggang rasa dan toleransi sesama sehingga menciptakan sesuatu yang dapat membuat kita tenang, terlebih dengan Tuhan sebagai Maha Pencipta. Jika hal demikian telah terlaksana, maka mata cinta yang dimaksudkan oleh penyair sebagai hati itu sendiri akan menjadi sebuah pembelajaran yang berguna bagi kehidupan manusia.

d.      di pagi ini di setiap butiran debu
di setiap butiran hujan
menjadi kendaraan malaikat
untuk mendekatkan kembali

            Pada baris ketiga melalui kata malaikat, sebuah metafora yang menurut saya begitu menarik. Manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara malaikat maupun iblis, deskripsi dari malaikat yang diinterpretasikan oleh penyair sendiri menunjukkan ada sisi kemalaikatan pada diri manusia untuk tunduk dan mematuhi Tuhannya. Malaikat adalah ciptaan Tuhan yang sangat patuh terhadap pencipta-Nya. Tentu manusia seharusnya mencontoh sikap dari malaikat tersebut, bahwa kita hidup sebenarnya hanya sebagai amanah untuk patuh dan taat terhadap perintah dan larangan yang sudah difirmankan Tuhan di dalam Al-Quran. Dengan situasi bencana seperti yang terjadi di Kediri ini, penyair memberikan perhatian khusus kepada kita untuk merenungi dan lebih memperbanyak istighfar bahwa segala ciptaan Tuhan perlu disyukuri. Bagaimana manusia itu sendiri untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, itulah yang diharapkan oleh penyair.

e.       antara langit dan bumi
memberi salam kepada para nabi
membagi salam kepada para kekasih      
lalu turunlah hujan yang membawa kebaikan

      Bait kelima ini, penyair mencoba untuk memperlihatkan kepada kita terkait salah satu ciptaan Tuhan yaitu bentangan langit dan bumi yang tak terkira luasnya. Sudah sewajarnya kita mengucap subhanallah akan kekuasaan Tuhan. Hal yang bisa kita lakukan untuk meneruskan penjelasan pada bait sebelumnya, kita bisa membudayakan shalawat terhadap nabi junjungan kita, Muhammad SAW. Kemudian saling memberi dan berbagi dalam hal kebaikan kepada antar sesamanya. Adanya saling bantu-membantu tersebut digambarkan penyair melalui kata membagi salam kepada para kekasih. Kekasih yang mungkin dimaksud oleh penyair adalah manusia-manusia yang terkasihi, tersayangi, dan tercintai meski berbeda ditinjau dari kondisi fisiknya atau bukan sedarah sekandung. Akan tetapi, kita sangat perlu melakukan tindakan demikian mengingat kita sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup secara individu. Selanjutnya, bisa diperoleh jawabannya, insyaallah sikap tersebut akan mendatangkan berkah dan rahmat tak terkira dari Tuhan untuk kelangsungan hidup manusia di dunia maupun di akhirat kelak. Keberkahan hidup bisa kita rasakan dengan hati kita melalui metafora lalu turunlah hujan yang membawa kebaikan.

f.        kau aku bersaksi dalam sahadat
kau aku merayakan shalawat
di pagi ini memang tidak ada burungburung
tetapi hati kau aku yang
menerbangkan doadoa dhuha ke tahta yang
maha
hyang

      Pada bait terakhir ini, penulis mengajak kita untuk bersyahadat. Menurut KBBI, syahadat berarti persaksian dan pengakuan (ikrar) yang benar, diikrarkan dengan lisan dan dibenarkan dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah. Tidak hanya itu, kita senantiasa mengucap shalawat kepada nabi junjungan kita, Muhammad SAW. Yang menarik dalam bait ini terletak pada baris ketiga, di pagi ini memang tidak ada burungburung. Mungkin dalam pandangan sang penyair, pagi yang gelap tersebut burung-burung tidak menampakkan diri mengingat situasi yang tidak mendukung untuk terbang melintasi sekaligus menembus derasnya hujan abu gunung Kelud. Akan tetapi, jika kita kaitkan dengan baris kelima menerbangkan doadoa dhuha ke tahta yang. Tidak bermakna atau berarti bahwa burunglah yang menerbangkan setiap doa yang kita ucapkan, melainkan hal demikian merupakan perumpaan jika doa yang selalu kita lisankan di setiap kesempatan ini diterbangkan oleh burung-burung menuju ke Tuhan, yaitu Allah.
            Selanjutnya, saya berpikir entah doa yang terlantun tersebut dilakukan ketika waktu menjelang shalat dhuha atau memang sengaja dilakukan pada saat itu. Yang menjadi pertanyaannya, apakah orang-orang serempakk melakasanakan shalat dhuha, termasuk penyairnya ini? Tentu saja doa yang terucap tersebut dihaturkan kepada Allah supaya saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana diberikan ketabahan, kekuatan, dan kesabaran untuk melalui cobaan yang diberikan oleh Allah.

     2.      Simbol yang Terdapat Pada Sajak “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya”
a)      Rumah Hati
            Ungkapan yang tertuang pada sajak di atas, rumah hati mempunyai maksud atau terkandung sebuah makna sebagai jiwa manusia yang terjadi melalui perasaan, pikiran, dan angan-angan pada raga manusia. Jiwa sendiri adalah kebatinan yang hanya dirinya sendiri dan Allah SWT yang mengetahuinya. Oleh sebab itu, gambaran rumah hati ini pada umumnya sebagai relung hati, yang tentunya merupakan bagian dari jiwa itu sendiri.

b)      Mata Cinta
            Makna yang terkandung pada kata mata cinta adalah sebuah penglihatan yang dibarengi oleh perasaan teramat dalam dan kuat. Bukan hanya melihat dengan kedua mata telanjang, melainkan ikut merasai setiap objek yang dilihat menggunakan hati, pikiran, dan perasaan.

c)      Malaikat
            Malaikat adalah ciptaan Allah SWT dari cahaya. Malaikat sebagai hamba Allah SWT yang senantiasa patuh dan taat pada perintah Allah SWT. Dari kata malaikat tersebut, ada arti di balik itu semua, yaitu manusia. Penyair bahkan berani mensimbolkan jika sebenarnya manusia dan malaikat itu tidak jauh beda. Keduanya sama ciptaan Allah SWT, hanya saja perbedaannya adalah kadar ketatan dan kepatuhan pada pencipta-NYA. Di sinilah, penyair ingin mengajak manusia-manusia untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.

d)     Para Kekasih
            Para kekasih sebagai simbol para manusia itu, manusia yang beraneka ragam bentuk, rupa, fisik. Bukan pula sedarah sekandung, melainkan manusia-manusia yang dijelaskan di atas adalah saudara kita yang sesungguhnya, termasuk penyair sendiri menganggap bahwa semua manusia yang ada di sekitar kita atau di Indonesia sekalipun, mereka tetaplah saudara kita karena hidup pada suatu negara bernama NKRI. Hubungan dengan lain pada konteks yang sama, sudah menjadi keharusan untuk kita mengasihi antar sesama tanpa memandang pangkat, derajat sosial, harta, atau dalam bentuk lainnya. Sejatinya, berbagi itu butuh keikhlasan untuk mengharap dan mendapat ridha dari Allah SWT semata.

      3.      Konsep Sajak “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya”
            Sajak “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya” diungkapkan dalam sebuah peristiwa yang tidak terduga karena bencana yang terjadi tersebut bukanlah kehendak manusia, melainkan kehendak Allah SWT. Apa saja yang tertuang pada sajak tersebut, berisikan pandangan penyair terhadap musibah yang menimpa warga Kediri, Jawa Timur beserta warga dari daerah lain yang ikut terkena imbas dari abu gunung Kelud yang menyebar ke beberapa wilayah meliputi hal konkrit apa saja yang ditemui dan apa sikap yang seharusnya kita tunjukkan terkait hal tersebut.

E.     Kesimpulan
      Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermenuein,yang artinya menafsirkan. Maka, kata benda hermeneuein secara harfiyah dapat diartikan sebagai “penafsiran atau interferetasi.  Teori yang digunakan dalam menganalisis suatu sajak yaitu teori metafora, teori simbol dan teori konsep yang ketiganya saling berkaitan antara satu dan lain. Dalam analisis sajak “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya” metafora menghubungkan makna explisit dan makna implisit dalam karya sastra.
      Hasil analisis pada karya Abdul Wachid B.S dalam buku antologinya yang berjudul HYANG yang menggunakan teori dan metode hermeneutika Paul Ricoeur pada puisi “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya” yaitu gambaran sebuah peristiwa atau kejadian atas kehendak Allah SWT. Sementara itu simbol-simbol yang digunakan penyair pada puisi “Hujan Abu Gunung Kelud di Yogya” ada empat yaitu rumah hati, mata cinta, malaikat, dan para kekasih. Sedangkan konsep yang digunakan oleh Abdul Wachid B.S diungkapkan melalui pandangan tentang paradigma sikap seperti apa yang harus kita lakukan ketika sebuah peritiwa atau kejadian yang tidak kita sangka-sangka kedatangannya, seperti musibah meletusnya gunung Kelud, di Kediri, Jawa Timur tersebut.

Daftar Pustaka

Kurniawan, Heru. 2013. Mistisisme Cahaya. Purwokerto: Penerbit Kaldera.

Wachid, Abdul BS. 2015. Hyang. Yogyakarta: Cinta Buku.

Hidayat, Arif. 2015. Aplikasi Teori Hermeneutika Dan Wacana Kritis. Purwokerto: Kaldera.

Sumaryono, E. 2013. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Palmer, Ricard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Penerapan Teori Hermeneutika dalam Sajak Abu Gunung Kelud di Yogyakarta Karya Abdul Wachid B.S"