Ringkasan Materi Kuliah Dari Bab Pragmatik sampai Intertekstual
Bab 1 : Pragmatik
Kegunaan pendekatan pragmatik di sini ialah untuk menganalisa cerpen Hana karya Akutagawa Ryuunosuke. Pendekatan sruktural memisahkan unsur intrinsik cerpen Hana yaitu: tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, serta latar. Pendekatan pragmatik memiliki manfaat untuk memperrnudah memahami cerpen Hana dari segi fungsinya, yaitu memberikan pendidikan dan pesan moral dari pandangan pembaca selaku penyambut karya sastra. Dari hasil analisis cerpen Hana, diketahui unsur intrinsik yang membangun cerpen Hana, yaitu: 1) Tema cerpen Hana adalah konflik batin Zenchi Naigu yang memiliki hidung panjang seperti sosis. 2) Alur atau plot cerpen Hana menggunakan alur lurus. 3) Tokoh dan penokohan cerpen Hana mengarah dari segi peranan atau pentingnya tokoh berdasarkan fungsinya, penulis membahas tokoh di cerpen ini menjadi tokoh utama dan tokoh bawahan. 4) Latar utama cerpen Hana adalah kuil Ike no O, karena sebagian besar peristiwa terjadi di tempat ini.
Penceritaan cerpen Hana memungkinkan pembaca bisa memahami isi cerita, sehingga manfaat karya sastra bagi pembaca dapat dirasakan. Cerpen ini memberikan manfaat tentang nilai sosial, nilai budaya, dan nilai moral. Nilai sosial yang dapat dipetik dari cerpen ini adalah ketika manusia sebagai makhluk sosial, mereka hidup berdampingan dan tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Kebiasaan mengadakan ceramah dan upacara-upacara keagamaan lainnya di kuil Ike no O menandakan kebiasaan dan kecintaan mereka sebagai seorang pemeluk agama Budha, sehingga dapat memberikan nilai budaya pada cerpen ini. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang bisa menanggapi terhadap apa saja yang luhur.
Adapun nilai moral yang terdapat dalam cerita Hana yaitu memberikan ajaran untuk mempertimbangkan baik buruknya suatu perbuatan atau sikap antar sesama manusia. Pesan moral atau amanat yang bisa dipetik dari cerpen Hana yaitu saling menghormati, selalu bersyukur atas apa yang Tuhan berikan dalam hidup ini, sabar, simpati, memikirkan baik atau buruknya sebelum melakukan sesuatu, kesalahan adalah pengalaman yang berharga. Pesan-pesan yang terdapat dalan cerpen ini menyentuh kehidupan manusia, sehingga menjadikan cerpen ini menarik untuk disimak.
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Pengaruh-pengaruh tersebut memunculkan mitos-mitos serta citra baku (stereotipe) tentang laki-laki dan perempuan, seperti perempuan lemah dan
Pembagian seperti ini dalam struktur sosial menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kotak-kotak yang kadang-kadang sulit untuk ditembus, pembagian seperti contoh di atas menyebabkan kurangnya penghargaan pada apa yang telah dikerjakan oleh perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai sistem pelengkap saja dari dunia laki-laki. Laki-laki diberi label ”pencari nafkah”, sehingga apapun yang dikerjakan perempuan dianggap sebagai “sambilan atau tambahan”, malahan kadang tidak dianggap. Pada umumnya hasil tulisan laki-laki menampilkan stereotipe wanita sebagai istri dan ibu yang setia dan berbakti, wanita manja, pelacur dan wanita dominan. Citra-citra wanita seperti itu ditentukan oleh aliranaliran sastra dan pendekatan-pendekatan tradisional yang tidak cocok dengan keadaan karena penilaian demikian tentang wanita tidak adil dan tidak teliti, padahal wanita memiliki perasaan-perasaan yang sangat pribadi seperti penderitaan, kekerasan atau rasa tidak aman yang hanya bisa diungkapkan secara tepat oleh wanita itu sendiri (Kolodny dalam Sugihastuti, 2002:141).
Dalam membicarakan soal wanita atau perempuan, yang terpenting dan sama sekali tidak boleh dilupakan adalah kodrat perempuan. Salah satu yang membedakan laki-laki dan perempuan hanyalah pada kodrat, perempuan mempunyai kodrat alami yang tidak mungkin bisa diganggu gugat yang sekaligus juga merupakan keterbatasan yang harus diterimanya, misalnya perempuan mengalami hal-hal yang khas bagi perempuan yang tidak akan pernah dialami oleh laki-laki seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. “Wanita yang sering disebut perempuan, putri, istri dan ibu adalah makhluk yang memiliki kehalusan budi, kulit, lemah sendi tulangnya, yang sedikit memiliki perbedaan susunan atau bentuk tubuh dengan laki-laki” (Moenawar Chalil, 1977:8).
Sosiologi sastra yang memahami femonena sastra dalam hubungannya dengan aspek sosial, merupakan pendekatan atau cara membaca dan memahami sastra yang bersifat iterdisipliner. Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-hubngan tersebut di dalam masyarakat. Bedanya, kalau sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada, maka sastra menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif dan personal (Damono,1979). Sebagai pendekatan yang memahami, menganalisis, dan menilai karya sastra dengan mempetimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial), maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang otonom, sebagaimana pandangan strukturalisme. Keberadaan karya sastra, dengan demikian selalu harus dipahami dalam hubungannya dengan segi-segi kemasyarakatan. Sastra dianggap sebagai salah satu fenomena sosial budaya, sebagai produk masyarakat. Pengarang, sebagai pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat. Dalam menciptakan karya sastra, tentu dia juga tidak dapat terlepas dari masyarakat tempatnya hidup, sehingga apa yang digambarkan dalam karya sastra pun sering kali merupakan representasi dari realitas yang terjadi dalam masyarakat. Demikian juga, pembaca yang menikmati karya sastra. Pembaca pun merupakan anggota masyarakat, dengan sejumlah aspek dan latar belakang sosial budaya, politik, dan psikologi yang ikut berpengaruh dalam memilih bacaan maupun memaknai karya yang dibacanya.
Menurut Kristeva, intertekstualitas adalah pluralitas teks yang tak tereduksi di dalam dan di balik setiap teks, di mana fokus pembicaraan tidak lagi pada subjek (pengarang) tapi pada produktivitas tekstual. Dasar intertekstualitas adalah prinsip persamaan (vraisdmhahle ) teks yang satu dengan teks yang lain sebagai dikemukakan Culler (1977:139). Ia mengemukakan pendapat Julia Kristeva bahwa setiap teks itu merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain, setiap teks itu merupakan mozaik kutipan-kutipan dari teks lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan (Cf. Teeuw, 1983:65). Menurut Riffaterre (1978:11, 23) bahwa sajak -(tieFs-) yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain itu disebut hipogram. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya persamaan itu. Dengan menjajarkan sebuah teks dengan teks yang menjadi hipogramnya, maka makna teks tersebut menjadi jelas, baik teks itu mengikuti atau menentang hipogramnya. Begitu juga, situasi yang dilukiskan menjadi lebih terang hingga dapat diberikan makna sepenuhnya.
Pragmatik adalah subdisiplin
linguistik yang ilmunya berguna untuk mengkaji makna bahasa dalam kaitannya
dengan situasi tutur. Dalam kaitannya ilmu pragmatik dengan karya sastra,
pragmatik itu sendiri memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan
tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral, agama, atau
tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan
fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin
banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca, maka semakin
baik karya sastra tersebut. Definisi lain mengatakan bahwa pendekatan pragmatik
adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan
pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Pembaca memiliki
peranan yang sangat penting dalam menentukan sebuah karya yang merupakan karya
sastra atau bukan.
Kegunaan pendekatan pragmatik di sini ialah untuk menganalisa cerpen Hana karya Akutagawa Ryuunosuke. Pendekatan sruktural memisahkan unsur intrinsik cerpen Hana yaitu: tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, serta latar. Pendekatan pragmatik memiliki manfaat untuk memperrnudah memahami cerpen Hana dari segi fungsinya, yaitu memberikan pendidikan dan pesan moral dari pandangan pembaca selaku penyambut karya sastra. Dari hasil analisis cerpen Hana, diketahui unsur intrinsik yang membangun cerpen Hana, yaitu: 1) Tema cerpen Hana adalah konflik batin Zenchi Naigu yang memiliki hidung panjang seperti sosis. 2) Alur atau plot cerpen Hana menggunakan alur lurus. 3) Tokoh dan penokohan cerpen Hana mengarah dari segi peranan atau pentingnya tokoh berdasarkan fungsinya, penulis membahas tokoh di cerpen ini menjadi tokoh utama dan tokoh bawahan. 4) Latar utama cerpen Hana adalah kuil Ike no O, karena sebagian besar peristiwa terjadi di tempat ini.
Penceritaan cerpen Hana memungkinkan pembaca bisa memahami isi cerita, sehingga manfaat karya sastra bagi pembaca dapat dirasakan. Cerpen ini memberikan manfaat tentang nilai sosial, nilai budaya, dan nilai moral. Nilai sosial yang dapat dipetik dari cerpen ini adalah ketika manusia sebagai makhluk sosial, mereka hidup berdampingan dan tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Kebiasaan mengadakan ceramah dan upacara-upacara keagamaan lainnya di kuil Ike no O menandakan kebiasaan dan kecintaan mereka sebagai seorang pemeluk agama Budha, sehingga dapat memberikan nilai budaya pada cerpen ini. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang bisa menanggapi terhadap apa saja yang luhur.
Adapun nilai moral yang terdapat dalam cerita Hana yaitu memberikan ajaran untuk mempertimbangkan baik buruknya suatu perbuatan atau sikap antar sesama manusia. Pesan moral atau amanat yang bisa dipetik dari cerpen Hana yaitu saling menghormati, selalu bersyukur atas apa yang Tuhan berikan dalam hidup ini, sabar, simpati, memikirkan baik atau buruknya sebelum melakukan sesuatu, kesalahan adalah pengalaman yang berharga. Pesan-pesan yang terdapat dalan cerpen ini menyentuh kehidupan manusia, sehingga menjadikan cerpen ini menarik untuk disimak.
Bab II : Semiotik
Semiotik adalah sebuah pendekatan
yang menitik beratkan pada pengkajian tanda. Mengkaji sistem-sistem,
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Menurut Aart van Zoest (1995:5) semiotik adalah studi tentang tanda dan segala
yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda- tanda
lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Menurut Pierce (dalam Zaimar, 2008: 2) yang disebut tanda adalah sesuatu yang
mewakili seseorang atau sesuatu yang lain dalam hal dan kapasitas tertentu.
Nurgiyantoro (2007: 40) menyatakan bahwa tanda adalah sesuatu yang mewakili
sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan,
danlain-lainnya. Oleh karena itu, yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan
hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini.
Bab III : Feminisme
Salah satu masalah yang sering
muncul dalam karya sastra adalah subordinasi perempuan, perempuan dikondisikan
dalam posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Kondisi ini membuat perempuan
berada dalam posisi tertindas, inferior, tidak memiliki kebebasan atas diri dan
hidupnya. Dalam hal ini berkaitan dengan masalah gender yang mempertanyakan
tentang pembagian peran serta tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan dikondisikan sebagai makhluk yang lemah sedangkan laki-laki
dikondisikan sebagai makhluk yang kuat. Akibatnya peran perempuan sering diabaikan
dalam kehidupan publik karena perempuan hanya cocok dalam peran keluarga saja.
Anggapan negatif terhadap perempuan atau pendefinisian perempuan dengan
menggunakan kualitas yang dimiliki laki-laki sangat berhubungan dengan konsep
gender.
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Pengaruh-pengaruh tersebut memunculkan mitos-mitos serta citra baku (stereotipe) tentang laki-laki dan perempuan, seperti perempuan lemah dan
lembut,
sedangkan laki-laki kuat dan perkasa, perempuan boleh menangis dan laki-laki
tidak boleh menangis. Masalah muncul sebab mitos-mitos dan citra baku telah
mengaitkan peran perempuan dan laki-laki dengan jenis kelaminnya, serta
penilaian secara sosial-budaya yang telah dikenakan (dilabelkan) padanya,
akibatnya peran laki-laki dan perempuan telah dikotak-kotakkan karena
berdasarkan jenis kelamin dan penilaian-penilaian tersebut. Citra baku telah menempatkan
laki-laki sebagai yang kuat dan tegar, sedangkan perempuan ditempatkan sebagai
yang lemah dan lembut. Perempuan dibakukan ke dalam sektor yang dianggap cocok
dengannya
yaitu sektor
domestik sedangkan laki-laki dibakukan ke dalam sektor yang dianggap cocok
dengannya yaitu sektor publik. Alasannya sektor domestik lebih mudah, lebih
halus, dan lebih ringan daripada sektor publik yang lebih sulit, keras dan
kasar. Sehingga sektor domestik lebih cocok untuk perempuan yang lembut dan
lemah.
Pembagian seperti ini dalam struktur sosial menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kotak-kotak yang kadang-kadang sulit untuk ditembus, pembagian seperti contoh di atas menyebabkan kurangnya penghargaan pada apa yang telah dikerjakan oleh perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai sistem pelengkap saja dari dunia laki-laki. Laki-laki diberi label ”pencari nafkah”, sehingga apapun yang dikerjakan perempuan dianggap sebagai “sambilan atau tambahan”, malahan kadang tidak dianggap. Pada umumnya hasil tulisan laki-laki menampilkan stereotipe wanita sebagai istri dan ibu yang setia dan berbakti, wanita manja, pelacur dan wanita dominan. Citra-citra wanita seperti itu ditentukan oleh aliranaliran sastra dan pendekatan-pendekatan tradisional yang tidak cocok dengan keadaan karena penilaian demikian tentang wanita tidak adil dan tidak teliti, padahal wanita memiliki perasaan-perasaan yang sangat pribadi seperti penderitaan, kekerasan atau rasa tidak aman yang hanya bisa diungkapkan secara tepat oleh wanita itu sendiri (Kolodny dalam Sugihastuti, 2002:141).
Dalam membicarakan soal wanita atau perempuan, yang terpenting dan sama sekali tidak boleh dilupakan adalah kodrat perempuan. Salah satu yang membedakan laki-laki dan perempuan hanyalah pada kodrat, perempuan mempunyai kodrat alami yang tidak mungkin bisa diganggu gugat yang sekaligus juga merupakan keterbatasan yang harus diterimanya, misalnya perempuan mengalami hal-hal yang khas bagi perempuan yang tidak akan pernah dialami oleh laki-laki seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. “Wanita yang sering disebut perempuan, putri, istri dan ibu adalah makhluk yang memiliki kehalusan budi, kulit, lemah sendi tulangnya, yang sedikit memiliki perbedaan susunan atau bentuk tubuh dengan laki-laki” (Moenawar Chalil, 1977:8).
Bab IV : Sosiologi Sastra
Menurut Sapardi Djoko Damono (1984:
129), sosiologi sastra adalah salah satu cabang ilmu sastra yang mendekati
sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Memperhatikan baik pengarang,
proses penulisan maupun pembaca (sosiologi komunikasi teks) serta teks sendiri
(penaksiran teks secara sosiologis). Selain itu juga sosiologi sastra adalah
sebuah cabang dari kajian sastra yang membahas hubungan antara karya sastra dan
konteks sosialnya, termasuk pola pembahasan, jenis penikmat, gaya penerbitan
dan penyajian dramatis, dan posisi kelas sosial penulis dan pembaca. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan dalam menganalisis
karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat untuk mengetahui
makna totalitas. Sosiologi sastra berusaha untuk menemukan keterjalinan antara
pengarang, pembaca, kondisi sosial budaya, dan karya sastra itu sendiri.
Sosiologi sastra yang memahami femonena sastra dalam hubungannya dengan aspek sosial, merupakan pendekatan atau cara membaca dan memahami sastra yang bersifat iterdisipliner. Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-hubngan tersebut di dalam masyarakat. Bedanya, kalau sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada, maka sastra menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif dan personal (Damono,1979). Sebagai pendekatan yang memahami, menganalisis, dan menilai karya sastra dengan mempetimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial), maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang otonom, sebagaimana pandangan strukturalisme. Keberadaan karya sastra, dengan demikian selalu harus dipahami dalam hubungannya dengan segi-segi kemasyarakatan. Sastra dianggap sebagai salah satu fenomena sosial budaya, sebagai produk masyarakat. Pengarang, sebagai pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat. Dalam menciptakan karya sastra, tentu dia juga tidak dapat terlepas dari masyarakat tempatnya hidup, sehingga apa yang digambarkan dalam karya sastra pun sering kali merupakan representasi dari realitas yang terjadi dalam masyarakat. Demikian juga, pembaca yang menikmati karya sastra. Pembaca pun merupakan anggota masyarakat, dengan sejumlah aspek dan latar belakang sosial budaya, politik, dan psikologi yang ikut berpengaruh dalam memilih bacaan maupun memaknai karya yang dibacanya.
Bab V : Intertekstual
Karya sastra kapan pun
ditulis tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Karya sastra akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki
konvensi, tradisi, pandangan tentang estetika, tujuan berseni, dan lain-lain,
yang kesemuanya dapat dipandang sebagai wujud kebudayaan. Dalam hal ini, sastra
dipandang sebagai “rekaman” terhadap pandangan masyarakat berkenaan dengan
segala sesuatu yang melingkupi kehidupannya. Teori intertekstual memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih kemudian
mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya. Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri. Dalam arti, proses
penciptaan teks selalu dapat dirunut hubungannya dengan teks-teks lain baik
langsung maupun tidak langsung. Tidak ada teks yang proses penciptaan sekaligus
konsekuensi pembacaannya dapat dilakukan tanpa sama sekali
berhubungan dengan teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka,
atau acuan. Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah
untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya yang ditelaah. Sebuah
karya tidak dapat dilepaskan dengan teks-teks lain yang telah ada, sehingga
dalam upaya memahami sebuah karya sastra kita juga harus mengenal dan memahami
karya atau teks-teks lain yang terkait.
Menurut Kristeva, intertekstualitas adalah pluralitas teks yang tak tereduksi di dalam dan di balik setiap teks, di mana fokus pembicaraan tidak lagi pada subjek (pengarang) tapi pada produktivitas tekstual. Dasar intertekstualitas adalah prinsip persamaan (vraisdmhahle ) teks yang satu dengan teks yang lain sebagai dikemukakan Culler (1977:139). Ia mengemukakan pendapat Julia Kristeva bahwa setiap teks itu merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain, setiap teks itu merupakan mozaik kutipan-kutipan dari teks lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan (Cf. Teeuw, 1983:65). Menurut Riffaterre (1978:11, 23) bahwa sajak -(tieFs-) yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain itu disebut hipogram. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya persamaan itu. Dengan menjajarkan sebuah teks dengan teks yang menjadi hipogramnya, maka makna teks tersebut menjadi jelas, baik teks itu mengikuti atau menentang hipogramnya. Begitu juga, situasi yang dilukiskan menjadi lebih terang hingga dapat diberikan makna sepenuhnya.
0 Response to "Ringkasan Materi Kuliah Dari Bab Pragmatik sampai Intertekstual"
Post a Comment