Cerpen Keberjodohan Karya Faisal Nur Syamsu
Kinanti tak beranjak dari tempat
duduknya. Pandangan matanya sayu, wajahnya beku. Ia merapatkan kedua kakinya dengan
perut. Ia juga menenggelamkan wajahnya dalam-dalam. Pikirnya, agar tak ada
orang yang mengetahui kesedihannya malam ini. Di tepian dekat jendela kamar, hanya
berteman dengan angin malam dan purnama yang masih setia menemaninya. Matanya
dibuat tegar agar tak ada lagi air yang tertumpah deras membanjiri lekuk
wajahnya. Agar ia lekas lupa dengan hari-hari sebelumnya. Pun demikian juga
dengan hatinya, terkunci rapat-rapat agar tak ada seorangpun yang berkunjung
malam-malam ini. Lalu, suara-suara kesakitan dan kepahitan tak didengarnya. Itu
semua hanya membuatnya semakin benci dan risih, terlebih sosok bertubuh
jangkung yang mengenalnya luar-dalam beberapa tahun ini. Dan secarik surat yang
digenggamnya kini tergolek lemas di atas karpet kamarnya. Ia baru saja meremas
dan mencabi-cabik menjadi serpihan-serpihan kecil. Beterbangan di udara, lalu
terhempas berpencar memenuhi sudut-sudut kamarnya. Ia masih tak terima dengan
keputusannya. Orang yang berhasil merenggut bilah hatinya. Orang yang bersedia
membagi kebahagiaannya. Orang yang senantiasa menyanyikan lagu favoritnya
sebelum beranjak tidur. Orang yang terkasihi oleh Tuhan maupun oleh dirinya
sendiri. Teramat berharga.
Dering panggilan telepon beberapa kali
ia biarkan begitu saja. Berapa kali ia harus mendengar ucapan bernada sok tabah dan sabar dari kerabat dekat
dan teman seperjuangan semasa kuliah. Sebab mereka yang mengatakan dan mencoba
menenangkannya itu tak tahu-menahu apa yang saat ini ia rasakan. Orang mana
yang tak pingsan mendengar berita duka pagi buta tadi? Bahkan hampir saja
rohnya berhasil dicuri malaikat. Hampir, jika saja dokter langganan orang
tuanya tak datang tepat waktu. Namun, nyatanya Kinanti sedang beruntung hari
ini.
Dirasakannya ngilu sekujur tubuhnya,
gemetar hebat layaknya pemakai obat-obatan terlarang. Bahkan, ia yang sekarang
setengah gila. Untuk sekadar melihat kenyataan dari dunia yang kejam. Bengis.
Tak memandang umur, pangkat, status sosial, atau harta yang dimiliki. Tuhan
memang tak adil baginya. Kinanti merasa tak salah, ia bukanlah egois untuk
memperkarakan ini. Tapi, Kinanti merasa dikhianati. Kinanti teriang pada baris
terakhir: cintailah aku sampai mati!
“Hah..,tak
ada manusia yang sejernih air pikirannya. Mengapa kamu bisa berkata demikian?
Aku memang terbiasa menyimak ujaran halusmu, namun untuk kali saja aku tak mau
memepercayaimu,” lirih Kinanti melalui hati kecilnya.
Kinanti masih belum beranjak. Untuk
sekadar mengambil minum atau cemilan. Bukan ia sedang diet atau karena kurang
bernafsu menghabiskan sepiring nasi goreng kesukaannya. Atau mungkin saja
melumat koleksi buku-buku yang dimiliknya. Mulai dari buku sastra,
ensiklopedia, kumpulan cerpen dan catatan harian yang Dewa buat untuk Kinanti,
atau buku berjudul mantra bahagia yang Kinanti dapatkan dari seorang karibnya. Bahkan
satu-dua barang pemberian Dewa Bagaskara tak tersentuh oleh tangannya yang
halus. Sehalus benang sutra seperti kebanyakan. Apapun itu, ia tak memiliki
gariah. Sedikitpun ia tak mempedulikannya. Apalagi untuk tersenyum. Kalaupun
iya, senyumnya mengejek yang dicintainya, kemudian celoteh dan candaan yang Dewa
tulis lewat surat itu, Kinanti tertawakan dengan sinis. Kecendurungan Kinanti
untuk bergantung pada raga lain amatlah besar. Ia belum bisa menerima takdir
Tuhan lewat perantara malaikat. Terlepas setiap sedu sedan yang ia goreskan
lewat mimik wajahnya, muncul gambaran setengah jiwanya terbagi dua. Satunya
bijaksana, satunya lagi membelot melakukan tindakan di luar akal manusia. Minum
racun atau lompat dari apartemen!
“Cara
inilah yang kau pilih untuk mengurangi sedikit kesakitan di dadaku? Sudahkah
kau berpikir secara matang? Apa kau butuh bantuanku untuk menghitung harus
berapa kali kau berpikir sedemikian presisi dan penuh pretensi? Aku lelah.
Teramat lelah. Kau berbeli-belit mengatakannya,” Kinanti bicara pada kaca
jendela, pada bayangannya sendiri.
Ketiba bayangan dirinya tertawa, entah
Tuhan menghardik ucapannya atau iblis di tangan kirinya, sebuah pajangan jatuh
dari kaitnya. Kurang lebih ukurannya 20x30cm, di sekitar bingkainya penuh
dengan coretan bebungaan kesukaan Kinanti. Di belakang bingkainya tersirat
deretan angka-angkan dan sepatah dua patah kalimat:
10-10-2010
Aku, kau, dan Keraton Yogyakarta.
Don’t forget this moment.
Tangisnya semakin menjadi-jadi, pecah
seperti kaca yang membingkai, sekaligus pelindung agar kenangan dalam bentuk
kertas itu tak luntur catnya. Anehnya, meski pelindungnya telah retak, bingkai
yang membungkus di dalamnya masihlah menarik di mata dan hatinya. Secepat
kilat, Kinanti meninggalkan bayangannya. Otaknya memerintahkan mengambil pajangan
itu. Dengan pelan-pelan diangkatlah bingkai itu, lalu tangannya mengelus kaca
yang telah retak secara lembut. Ia bergegas merengkuh sosok bertubuh jangkung
dalam gambar itu. Didekapnya erat-erat, penuh keyakinan jika doa yang
senantiasa ia kirim ke Tuhan mampu terkabulkan agar terkasihnya selamat di
dunia maupun akhirat. Ia sangat yakin,
Dewa Bagaskara akan menjadi malaikat di kemudian hari. Ia akan menjaga Kinanti
di setiap malam, menemani dirinya bercengkrama dengan waktu, berlarian mengejar
angan-angan, dan segenap rasa yang semakin membuncah terwujudkan di pelaminan.
Semua terangkum pada Dewa Bagaskara.
“Kau
tahu, ini milik kita saja. Hanya kita berdua. Berisikan kisah perjalanan yang
telah kita arungi selama ini. Tentu sebelum kau menjatuhkan dalam pelukku, aku
masih tersenyum. Seperti katamu yang memaksaku untuk terus tersenyum, sepahit
apapun itu keadaanku. Aku lakukan, namun tidak untuk saat ini. Kau jahat!
Jahat, Bagas,” jemari tangan Kinanti mulai mengucurkan darah. Lebih deras dari
isak tangisnya.
“Tahukah
kau? Apa yang sekarang ini aku ingin lakukan? Aku ingin terbang bersama angin
malam. Aku harap, kau tangkaplah aku, dekaplah aku penuh kehangatan. Sebelum
aku menjerit lebih keras di hadapan calon mertuaku.”
***
0 Response to "Cerpen Keberjodohan Karya Faisal Nur Syamsu"
Post a Comment