Problematika Pengajaran Sastra di Sekolah
Salam hangat sahabat SI sekalian, pada kesempatan ini aku akan posting artikel. Hemm.. artikel ini merupakan salah satu contoh dari beberapa tugas kampus yang diberikan dosen. Bertema pengajaran sastra, dalam artikel ini aku sertakan secara lengkap lika-liku pengajaran sastra dan segala problematikan/permasalahan pengajaran sastra di Indonesia. Selamat membaca dan semoga berkenan.
Pembelajaran
bahasa dan sastra di Indonesia di berbagai jenjang pendidikan selama ini sering
dianggap kurang penting dan dikesampingkan seperti anaktiri oleh para guru,
ditambah lagi pada guru dengan pengetahuan dan apresiasi sastra (dan
kebudayaan) rendah. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang ideal menarik dan
besar sekali manfaatnya bagi para siswa/i disajikan hanya sekedar memenuhi
tuntutan kurikulum. Tak perlu heran bila pelajaran menjadi kering, kurang
nikmat, dan cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa/i. Paparan evaluasi pembelajaran sastra di
sekolah ini disampaikan Wakil Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud)
Bidang Keguruan, Wiendu Nuryani. “ Pendidikan sastra di sekolah penting. Karena
siswa tidak hanya olah nalar saja, tetapi harus olah rasa dan olah cipta,”
katanya pada forum persiapan Temu Sastra Indonesia 2012 di Jakarta (19/11).[1]
BACA JUGA : BUDAYA MEMBACA DI INDONESIA
BACA JUGA : BUDAYA MEMBACA DI INDONESIA
Tujuan
pengajaran sastra sebenarnya memiliki dua sasaran, yaitu agar siswa dapat
memperoleh pengetahuan dan pengalaman sastra. Pertama, pengetahuan sastra
diperoleh dengan membaca teori, sejarah, dan kritik sastra. Kedua, pengalaman
sastra dengan cara membaca, melihat pertunjukan karya sastra, dan menulis karya sastra.[2] Dengan demikian, tugas guru bahasa dan
sastra Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga
keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif),
baik melalui kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas. Diketahui bahwa selama
ini, pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang
diapit oleh dinding kelas. Hasilnya, daya imajinasi dan kreasi siswa kurang
berkembang optimal. Misalnya, ketika siswa mendapat tugas untuk membuat puisi
berkenaan dengan alam, guru yang bersangkutan tidak mengajak mereka ke alam
terbuka. Hal ini merupakan salah satu problematika dalam pengajaran sastra di
sekolah. Seharusnya, guru mengajak siswa keluar, ke alam terbuka dan membantu
mereka dalam proses penciptaan karya sastra.
Problematika
lainnya adalah sebagian guru bahasa dan sastra di sekolah kurang
menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya, guru
Sastra dan Bahasa Indoneisa dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di
media massa, dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik, yakni
internet. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan
sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan
mempublikasikan karya sastra di media massa, buku sastra, dan media elektronik. Sesungguhnya yang menjadi permasalahan
mendasar adalah sistem pendidikan kita. Kurikulum
pendidikan saat ini yang dianut tidak bisa memberikan ruang gerak yang leluasa
pada pembelajaran sastra. Orientasi pemerintah dalam pembangunan bidang
pendidikan masih melenceng jauh dari hakikat tujuan pendidikan itu sendiri.
Inilah yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Pendidikan diselenggarakan hanya
untuk menciptakan "tukang" dan tenaga kerja semata sehingga mata
pelajaran humaniora seperti sastra, bahasa, seni, dan budaya hanya diletakkan di
pinggiran, di anak-tirikan, bahkan dianggap tak berguna sama sekali.
Pengetahuan tentang sastra termasuk apresiasi sastra, dinomorduakan dan
dianggap sebagi hiburan. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan guru
bermalas-malasan dalam mengajarkan pengetahuan tentang sastra.
Dalam
proses pembelajaran sastra dan bahasa bagi guru yang aktif, kreatif, inovatif,
dan dapat menciptakan strategi jitu untuk pengembangannya, mereka dihadapkan
pada seperangkat silabus dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) tertentu yang
telah “dipatenkan” secara nasional dan berkiblat pada dogma yang dianggap
sangat sakral berupa seperangkat kurikulum. Inilah kunci pokok permasalahan. Silabus dan SKL inilah yang
menghegemoni kreativitas guru sastra sehingga dengan sendirinya, pembelajaran
sastra di sekolah kian terpinggirkan. Keprihatinan
sastrawan terkenal, Taufiq Ismail sangat gigih memperjuangkan kebangkitan
pembelajaran sastra dan menulis di sekolah-sekolah. Menurutnya, kemampuan sastra
siswa/i di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan 13 negara yang pernah
dikunjunginya, yang mewajibkan mereka membaca dan mendiskusikan 5 sampai 32
karya-karya sastra per tahun–sebuah situasi yang sudah lama hilang di sekolah
kita. Oleh karena itu, hal ini amat mendesak kita semua untuk mengatasinya
karena sastra adalah kendaraan yang efektif untuk mempromosikan
intelektualitas, kebajikan, moralitas, dan kearifan.
Diolah dari:
[1] http://www.jambiekspres.co.id/berita-2497-penguasaan-sastra-lemah-guru-digembleng.html ditelusuri Jumat, 3 Januari 2014.
[2] Dedi Wijayanti, Pengajaran
Sastra Di Sekolah, Jangan Hanya Bersifat Reseptip, http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-bersifat-reseptip ditelusuri Jumat, 3 Januari 2014.
Sumber:
0 Response to "Problematika Pengajaran Sastra di Sekolah"
Post a Comment