Cerpen Untuk dikenang Karya Faisal Nur Syamsu
Sore datang membayang ketika aku
memutuskan untuk mengunjungi suatu tempat. Namun, niatanku akan tempat itu pun
buyar seketika. Aku baru ingat, di tempat itulah lara hati ini mulai muncul.
Meski teman sekelasku memaksa, bahkan merayuku sekuat tenaga, aku tetap kekeh
tak ingin ke sana. Sebuah tempat bernama hutan Pinus. Aku tahu, tempat itu
rindang, asri, sejuk, lebihnya bagiku adalah mampu membuatku ingin selalu
mengunjunginya. Sebab di sana banyak ditumbuhi pohon hijau yang rimbun dan
bebungaan yang menyegarkan pandangan mata. Aku sempat jatuh cinta dengan tempat
itu beberapa minggu yang lalu. Tetapi, kini aku membencinya. Pikiranku melayang
entah kemana, kembali mengingat kisah pilu yang telah usang itu dan raut wajah
kesedihan ditunjukkan teman-temanku. Aku harus bagaimana?
Fiuhh...
Akhirnya aku juga yang mengalah. Empat
perempuan, termasuk aku, pergi ke hutan Pinus, Imogiri. Ujung-ujungnya, aku
mendatangi tempat itu untuk ke sekian kalinya.
Kami tiba di sana. Langkah kecil kami
pun menapaki sepanjang jalan setapak. Sekeliling kami, pohon pinus kokoh
berdiri begitu rapi. Seolah mereka memperhatikan kedatangan kami berempat. Aku
sendiri hanya menatap kosong. Tak sama dengan temanku lainnya, mereka asik
mengambil gambar lewat ponsel mereka. Mereka terlihat antusias. Happy. Ceria.
Aku? Tertunduk lesu meski mereka coba menghiburku. Entah, mulutku ini masih
enggan untuk tertawa. Jangankan tertawa, tersenyum pun tak mampu.
Aku duduk di sebuah kursi kayu. Lagi dan
lagi, pikiranku melayang-layang meninggalkan raga ini sendirian. Perlahan, aku
mulai menitikkan air mata lalu membasahi kedua pipiku. Tak jauh dari aku duduk,
ketiga temanku sibuk dengan fotonya. Aku sendiri memperhatikan mereka seksama.
Tanpa peduli aku nyimbrung atau
sekedar berfoto. Sekalinya, itu hanya menambah rasa sakit di hatiku. Tambah
pula, aku belum seutuhnya sembuh dari patah hati yang kemarin. Di saat
kekasihku memutuskanku tanpa alasan yang jelas. Aku belum bisa menerima itu
semua. Apalagi itu, aku juga masih belum ingin membuka hati yang baru. Hati
untuk hati orang lain yang akan mengisi kekosongan hatiku saat ini. Tubuhku
serasa lemas. Bukan karena aku belum makan seharian melainkan ada sesuatu hal,
entah apa yang membuat syaraf ototku seakan malas bergerak. Terlebih otot
mataku, ingin aku melempar pandangan dan membuang muka dari tempat-tempat yang
dulu sempat aku sambangi bersama kekasihku. Namun demikian, asa dan hatiku
masih ingin berharap. Sebuah angan-angan, kelak nantinya menghidupkan hatiku yang
hampir mati.
Kemudian angin semilir menyapu wajahku
berkali-kali dan mengibaskan rambut hitamku hingga tergerai tak menentu. Sontak
aku tersadar dari lamunanku. Daun hijau melayang-layang lalu jatuh dihadapanku.
Hijau segar yang membuatku ingin mengambilnya sesegera mungkin. Seterusnya aku
cium. Ahh.., aku jadi teringat dia. Saat dia mengambil daun hijau itu untukku.
Dan ia mengatakan sesuatu kepadaku.
Kau tahu, daun ini tampak segar.
Seperti senyummu kali ini.
Dia tersenyum simpul. Matanya bersinar
lalu sebuah kecupan manis dari bibirnya mendarat tepat di dahiku. Romantis.
Tapi itu dulu.
Secepat itukah waktu berlalu? Rasanya
baru kemarin kebersamaan ini kurasakan. Teduhnya pepohonan dan burung-burung
sekitar yang berkicau merdu. Kemungkinan juga, sekarang ini dia berada di sini
sama sepertiku namun pada sisi yang berbeda. Mungkin saja.
Keputusasaanku tentang semuanya, tentang
dirinya yang sempat mengisi relung hati ini. Senantiasa menghiburku bilamana
aku tengah ngambeg tak beralasan.
Bila suasana hatiku gelisah, dialah orang pertama yang mengucap kata maaf. Maaf
jika berlaku salah hingga membuatku serasa jauh dari sisinya.
Dalam lubuk hatiku, aku pun sungguh tak
rela bila ia lepas dari dekapanku. Membiarkannya terbang dan hinggap pada hati
yang lain. Tahukah jika aku masih merasakan sakit yang terus menggelayut dalam
pikiranku. Itu karena janji-janjimu yang terucap dari bibirmu. Yang bilamana
aku sebutkan satu per satu, aku takut dia tak mampu mewujudkannya. Aku teramat
ingin mendiami hatinya. Aku berharap bisa menjaganya di setiap malam. Namun
sirna seketika, saat wajah cantik itu datang menghampirimu tanpa
sepengetahuanku.
Lalu, ingin sekali aku bersorak gembira.
Sebab penantian panjangku ini berakhir manis untukku. Seseorang itu datang dan
membawaku terbang seperti daun hijau yang melayang-layang di udara. Bebas
kemanapun daun itu terbang tersapu angin kencang. Kemudian daun hijau itu
mendarat di suatu tempat yang indah. Penuh ketenangan. Aku menantikan momen itu
dengan segenap harapan yang membuncah tak terbatas. Sepanjang waktu
kupersiapakan baik-baik agar kesan ini mendalam untuk untuk kita kenang.
Terlalu manis untuk ingat berdua, seperti kita mengunjungi tempat ini beberapa
silam yang lalu.
Aku beranjak dari tempat dudukku. Tak
berselang lama, aku merasakan suatu pembaharuan pada diriku. Aku menemukan
kembali diriku yang dulu. Aku adalah orang yang terlahir kembali. Aku juga tak
ingin menjadi seorang perempuan yang suka merintih, menangis, atau merutuki apa
yang telah terjadi. Apa itu cinta, sayang, sakit hati, dan tentunya kenangan.
Aku pun mulai berjalan tegak tanpa harus keluarkan setetes air mata. Tanpa aku
harus menoleh ke belakang. Aku selalu mengikuti jalan yang benar dengan mawas
diri dan penuh kehati-hatian. Aku menyadari satu hal, bahwa kegelapan ini hanya
akan membawaku semakin tenggelam. Terombang-ambing tak tentu arah lalu tersesat
tanpa tahu jalan untuk pulang. Aku melihat sekilas jika ada seberkas cahaya
datang kepadaku. Menerangi jalanku untuk pulang, untuk terjaga dari gelap yang
semakin pekat terasa. Meski aku hanya mampu melihatnya samar-samar, namun aku
tahu jalan itulah tempatku kembali sediakala. Pada tempat di mana aku belum
mengenal dia. Aku menghirup napas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan-lahan.
Begitu tenang, damai, dan tentunya penuh kesejukkan. Aku menghentikan pikiran
lainnya, berdiri terdiam lalu mencoba berdialog dengan hati kecilku.
“Teruslah
melangkah. Tak ada gunanya kamu berdiam di sini. Menyepi untuk hal yang tak
bermafaat. Yakinlah bila jalan itu adalah penerang dari gelap yang kau rasakan
kali ini, bahkan untuk yang lalu-lalu.” kata hatiku.
Apa itu benar adanya?
Aku masih tak percaya dengan semua omong
kosong ini. Dan hati ini meneruskan ucapannya.
“Mengapa
masih ragu? Bukankah semua ada jalan untuk kembali? Untuk kamu pulang!”
Jika benar, mengapa aku masih terdiam di
sini? Termangu tak berkutik barang sedetik. Dan lucunya, bola mata ini tak
bergulir atas daun hijau barusan.
Lantas, persepsi apa yang dapat
meyakinkanku? Dengan kenyataan yang sekarang ini belum bisa aku terima
seutuhnya. Bahwa aku telah kehilangan jejaknya. Separuh kenanganku juga tertinggal
olehnya. Mungkin, barangkali ia masih menyimpannya pada memori ingatannya.
Tentangku, lebihnya hanya ini yang kurasa. Atau mungkin juga, di lain waktu ia
sedang melihatku terpojok di hingar-bingar tawa teman-temanku. Apakah mungkin,
masih terbesit olehnya perasaanku terhadapanya?
Baiklah, aku akan pulang seperti katamu. Katamu bila cahaya itu mampu membawaku ke arah yang tepat. Aku pulang. Benar aku ingin pulang saat ini juga. Tapi gerangan, mengapa aku bersedih bila pulang. Meninggalkan daun hijau ini sendirian di sini. Hutan pinus ini teramat luas dan aku tak mampu membayangkan daun ini di sini untuk waktu yang lama. Karena kutahu, cepat atau lambat, daun hijau barusan akan layu oleh waktu, seperti diriku sekarang.
***
0 Response to "Cerpen Untuk dikenang Karya Faisal Nur Syamsu"
Post a Comment