Ironi - Baju Toga dan Buku-buku Tua
Sebuah cerita dari lima pemuda. Muda
dan idealis yang katanya ingin mencari hidup sebenarnya. Dari berbagai daerah
nusantara, semua terangkum dalam empat tahun mendatang. Doa dari setiap orang,
kita bisa lulus bersama. Menghabiskan waktu demi waktu, entah peristiwa dan
pengalaman yang kesekian kali ditemui. Bergelut dengan buku, kata orang seperti
itu. Tapi, pada akhirnya hanya menjadi pajangan yang tak kalah elok akan foto
kekasih atau keluarga di kampung halaman. Menghisap batang demi batang rokok,
mulai dari gudangnya garam hingga hijaunya padang safana di Nusa Tenggara
Timur. Kembali setahun yang lalu, saat kami bangga menjadi anak gaul, yang
katanya adalah hidup anak muda sejati. Tak jauh dari kata huru-hara terutama
memegang cat pilox, akhir tahun ajang
kelulusan. Sebagai bukti bahwa kita pernah eksis. Dan baju putih abu-abu tak
luput jadi lukisan termahsyur dalam sejarah hidup. Apakah toga kami akan
seperti putih abu-abu?
“SID:
Kita muda dan berbahaya!”
Maka tak heran bila kami seperti ini
sebab kami belum mampu bertingkah dewasa. Jangankan dewasa, waktu kami terbuang
percuma. Kembali lagi, party-party tak
jelas! Dalam teorinya mudah kami pahami. Kata para ahli yang bertahun-tahun
meneliti, entahlah apa yang mereka pikirkan, lahirlah paham-paham ilmu sosial.
Selang selanjutnya, retorika hidup terus menjadi-jadi. Memakan korban saban
hari, anak muda seperti kami contohnya. Pada zaman ini, kami sebut saja zaman
kegilaan. Gila yang membuat orang tak mampu berpikir kritis, jangankan kritis,
masih juga keruh pikiran sehingga kami tak bisa melihat kedalaman. Dan kami
tenggelam begitu saja. Tanpa jejak sedikit pun, tak tahu arah mau kemanakan
hidup kami. Kami tersesat, Bung!
Ceritanya adalah saat kami berbicara
mimpi masing-masing. Katanya, sukses berawal dari mimpi. Jadi, perbanyak kami
tidur, mimpi kami semakin banyak pula. Dan kami akan sukses di kemudian hari.
Itu bohong! Mengapa bohong? Lihatlah kasur dan bantalmu, tidur kami
meninggalkan air liur. Karena kami terlalu asik menghayati mimpi kami. Cobalah
kita heran pada diri kita sendiri: Buat apa hidup? Mengapa kopi hitam pahit,
tak mengapa bila kopi hitam kuganti manis cokelat? Atau kopi rasa keju? Agar
getir pahit kopi dapat ternetralkan. Barangkali hidup macam itu yang membuat
saya harus bersyukur. Hidup seperti hopi hitam, pahit.
0 Response to "Ironi - Baju Toga dan Buku-buku Tua"
Post a Comment