Sinopsis Novel 5 CM Karya Donny Dhirgantoro

Hari yang begitu cerah saat mereka berlima duduk santai di dalam mobil Ian. Lagu Picture of You The Cure terdengar lembut dari tape mobil Ian di sepanjang jalan Diponegoro, Menteng. Mereka berlima baru saja makan bubur ayam di Cikini. Sambil duduk santai di dalam mobil mereka berlima membicarakan sesuatu, mereka berencana untuk mengunjungi rumah Arial. Halaman rumah Arial luas dan asri membuat mereka rindu akan rumahnya Arial. Hal tersebut membuat mereka teringat tiga tahun yang lalu ketika mereka baru berempat. Tiba-tiba Genta menyela pembicaraan, Genta berkata bagaimana kalau sebaiknya kita tidak bertemu untuk saat ini. Sembari Genta juga berencana untuk mengajak teman-teman yang lain berwisata. Yang lainnya menanggapi ajakan Genta dengan semangat dan penuh penasaran, entah apa yang akan Genta rencanakan untuk teman-temannya.
Lewat sms pendeknya, Genta mengabari teman-temannya tentang rencana yang dia buat. Genta mengajak yang lainnya untuk ketemuan di Stasiun Senen tanggal 14 Agustus jam 2 siang, di samping itu Genta juga menyuruh teman yang lainnya membawa perlengkapan yang direncanakan Genta. Teman-teman yang lainnya mengiyakan apa yang disuruh Genta.  Tepat tanggal 14 Agustus di Stasiun Senen jam 2, seperti apa yang sudah Genta rencanakan untuk berwisata. Satu  jam lebih tiga puluh menit Genta menunggu teman-temannya hadir. Siang itu daerah Stasiun Senen panas sekali. Di stasiun Senen, Genta dengan bawaannya yang banyak menikmati makan siang disalah satu restoran Padang di daerah dekat Stasiun Senen. Tiba-tiba Zafran datang menghampiri Genta sambil mengendarai mobilnya, dengan tampilan Zafran yang terlihat nyentrik membuat Genta terkejut. Disaat yang bersamaan, Ian dan Riani dengan senyum manisnya berlari kecil memasuki Restoran Padang menghampiri Genta dan Zafran. Selang beberapa menit kemudian, Arial datang dengan membawa adiknya yang bernama Dinda.
Pukul setengah tiga lebih, mereka berenam dengan barang bawaan yang dibawa masing-masing menuju ke kereta yang siap berangkat. Kereta ekonomi Matarmaja yang entah sudah berapa tahun melayani trayek Malang-Jakarta pulang pergi ini tampak begitu tua dan kumuh, dengan kaca-kaca yang sudah pecah. Setelah membereskan barang bawaan, mereka duduk berenam berhadap-hadapan. Riani dan Dinda duduk berhadapan di pojok dekat jendela. Genta di sebelah Riani berhadapan dengan Arial, dan Zafran di sebelah Arial berhadapan dengan Ian. Lima menit kemudian kereta pun mulai bergerak meninggalkan Stasiun Senen. Mungkin memang sudah tua, kereta yang mereka tumpangi mulai bergerak perlahan dengan sesekali mengeluarkan asap dari cerobong.
Di dalam kereta mereka berenam mengobrol dengan santai dan ramahnya. Keheningan terpecah saat Ian bercerita tentang kesibukannya selama dua bulan. Dia yang pantang menyerah karena dua kali penolakan kuisionernya, telah membuat takjub Sukonto Legowo, Mas Fajar, dan kedua orangtuanya, pokonya semua yang telah Ian alami dia ceritakan kepada yang lainnya. Tak hanya Ian yang bercerita tentang kesibukannya, Arial juga mulai bercerita tentang Indy, wanita yang telah membuat luluh hati Arial. Indy yang tampangnya biasa saja tetapi enak dilihat dan tidak membikin bosen Arial. Selain itu, Indy-lah yang selalu mengisi hari-hari Arial dalam kehidupannya.
Pertengahan malam pun sudah lewat. Kereta tua yang mereka tumpangi melaju dengan santainya melewati perkampungan. Jalan desa dan jalan kota-kota tua yang damai dan sepi. Pukul setengan tiga dinihari sampailah mereka berenam di Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Genta, Riani, Zafran, dan Dinda turun dari kereta menginjakkan kaki diubin putih yang mulai kekuningan di Stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Mereka berjalan ke toilet stasiun yang ada di antara para pedagang yang masih mencari rezeki dimalam hari yang terasa dingin menusuk tulang mereka.
Setelah selesai dari toilet, mereka berempat segera berjalan kembali masuk ke kereta. Perlahan tapi pasti, kereta mulai berjalan meninggalkan Stasiun Lempuyangan. Kereta mulai melaju cepat melewati hutan jati antara Madiun dan Nganjuk. Mereka berenam yang sebelumnya sudah terlihat mengantuk mencoba untuk menghilangkan rasa kantuk tersebut sembari mulai mengobrol sesuatu. Terlihat dari kaca kereta api tersebut, pagi hari yang cerah sudah menyambut kedatangan mereka berenam. Tak terasa setengah hari mereka berenam berada di kereta tua yang mereka tumpangi.
Pukul setengah tiga lebih mereka tiba di Stasiun Malang. Matahari sore yang sudah enggan mengeluarkan panasnya datang menyambut. Sebelum meninggalkan kereta, mereka memandangi kereta tua yang lelah karena seharian penuh mengantarkan kepergian mereka berenam untuk sampai di sini. Setelah turun dari kereta, tepat di stasiun Malang, rombongan pecinta alam itu menarik perhatian banyak orang. Rasa  pegal-pegal dan lelah belum hilang dari badan mereka sehingga mereka putuskan untuk duduk sebentar di bangku stasiun yang panjang, untuk menghilangkan rasa lelah dan penat.
Saat itu juga matahari sore masih tersisa sedikit panasnya, menembus pepohonan di jalan desa kecil. Sore itu di Tumpang banyak sekali kesibukan jip-jip menunggu mereka berenam yang mulai berdatangan dengan berbagai macam tas carrier besar. Dalam penampilan yang terlihat mirip karena barang-barang bawaan yang mereka bawa. Dalam benak hati mereka berenam, yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu Mahameru. Mereka mulai melangkahkan kaki dengan perlahan, mungkin rasa lelah yang mereka rasakan belum hilang sepenuhnya. Mereka menyusuri jalan berbatu desa yang akhirnya berbelok ke jalan setapak kecil menuju ke punggung Mahameru. Perjalanan sore hari itu dilanjutkan untuk mendaki pinggir hutan punggung Mahameru. Dari ketinggian pinggiran lereng hutan Mahameru, Ranu Kumbolo perlahan muncul seperti tetesan air raksasa yang jatuh dari langit dan membesar di depan mereka.
Pukul dua malam, udara dingin di atas tiga ribu meter tersebut mulai menyapa rombongan yang berdiri di depan tenda. Mereka berenam tertegun dan takjub melihat Mahameru dalam gelap malam. Rombongan tersebut mulai bergerak, berjalan melewati hutan cemara yang gelap. Puncak Mahameru seperti sebuah gundukan pasir mahabesar dengan tebaran batu karang di mana-mana. Jalur pendakian terlihat terang dipenuhi sinar bulan dan cahaya senter yang dibawa mereka untuk mendaki Mahameru.
Tepat tanggal 17 Agustus dipagi hari, matahari mulai menampakkan batang hidungnya tepat didepan rombongan tersebut. Sinar matahari yang hangat menyapa badan dingin mereka. Keenam anak manusia itu seperti melayang saat menjejakkan kaki di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Waktu seperti berhenti, dataran luas berpasir itu seperti sebuah papan besar menjulang indah diketinggian menggapai langit, di sekeliling mereka tampak langit biru dengan sinar matahari yang begitu dekat. Awan putih berkumpul melingkar di bawah mereka di mana-mana, asap putih tebal yang membubung di depan mereka sekarang terlihat jelas sekali kepulannya. Para pendaki tampak berbaris teratur di puncak Mahameru. Didepan barisan tertancap tiang bendera bambu yang berdiri tinggi dengan latar belakang kepulan asap Mahameru dan langit biru. Sembari hormat kepada sang merah putih, Zafran berkata sesuatu. Yang pada intinya dia yang lainnya begitu kagum dan emosional akan hari tersebut. Hari dimana lahirnya Indonesia untuk terbebas dari campur tangan bangsa lain yang telah menjajah kehidupan Bangsa Indonesia. Tak terasa waktu upacara penghormatan itu selesai, mereka berenam turun ke bawah untuk pulang ke rumah masing-masing.
Sepuluh tahun kemudian setelah mendaki Mahameru, tepat hari Minggu pagi di secret garden. Keluarga besar itu berkumpul di bungalow secret garden. Riani dan Dinda memejamkan matanya. Sekarang mereka menjadi seorang ibu. Bungalow secret garden hari itu penuh dengan doa, mimpi, dan keyakinan tulus di hati anak manusia. Semuanya saling pandang dan tersenyum hangat satu sama lain.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sinopsis Novel 5 CM Karya Donny Dhirgantoro"