Mantra Bahagia



          Ada saja hal yang hinggap di relung hati ini. Mengendap menjadi gumpalan resah tak tersampaikan. Bahkan itu bercabang dua. Hingga aku bingung memilih jalan mana. Untuk mengetahui dari kesesatan ini. Resah lagi-lagi, kadang pula masa lalu itu datang. Entah, aku pun tak tahu menahu sebab secara tiba-tiba. Aku terkejut olehnya, apakah aku harus memberi salam lalu menyapanya penuh ramah. Atau aku menutup pintu hati ini rapat-rapat. Pun demikian jendela dari bingkai cinta yang semakin terkikis tak aku buka sedikitpun. Hingga tak ada celah olehnya untuk mengintip. Dan juga suara-suara bisikan itu terkunci rapat oleh pintu yang kututup. Lalu, waktu yang dibutuhkan tak lama untuknya berkunjung. Karena aku tak ingin melihatnya. Jangankan menyapa, pintu hati ini saja tak kubukakan. Aku memang tega. Tapi harus kulakukan karena aku tega.
            Asal dia menangkap isyaratku, seharusnya dia memberi salam perpisahan. Lambaian tanganku mengudara penuh semangat. Memberi suatu penghormatan terakhir untuk masa lalu. Selamat tinggal untuk waktu yang lalu-lalu. Berkatmu, sekarang aku menjadi seorang yang baru. Terlahir kembali dengan pilihan yang semakin luas. Tidak saat lampau, pilihanku terbatas dan hanya ada itu saja. Sekarang pula, aku membutuhkan waktu untuk sedikit berbenah diri. Menjadi pribadi yang kuat dari sebelumnya. Untuk menyambut apa yang dikatakan orang kebanyakan: masa depan. Untuk itulah, mengapa aku harus tersadar secepatnya. Agar aku tak tergores oleh luka yang sama. Oleh orang yang sama. Bukanlah perkara mudah bak membalikkan telapak tangan. Perlu waktu dan usaha yang kuat, sekuat-kuatnya baja yang lebih tangguh dari besi apapun. Itu adalah kepastian yang kutunggu-tunggu sejak lama.
            Bilamana ada yang bertanya. Kamu semestinya melakukan keduanya secara bersamaan. Karena kamu adalah orang yang peduli dan simpati. Terlebih rasa sayangmu teramat dalam bersama pendahulumu, tidak bersama yang sekarang. Aku ceritakan kepadamu, namun rasanya cerita ini terlalu panjang untuk diuraikan. Tidak hanya semalam suntuk, tetapi berhari-hari hingga sekat kecil itu terbuka secara perlahan. Dan cahaya terang benderang semakin menyilaukan mata dan penglihatan hatimu akan masa lalu itu semakin meredup. Toh, sisa-sisa serpihan itu masih ada? Tentu. Siapa juga, siapa pun itu pastinya tak mampu sepenuhnya membersihkan hatinya secara utuh. Apalagi menyangkut masa lalu yang penuh dengan gelap dan rasa pahit itu. Aku pun secara normal tak menginginkan hal demikian terjadi padaku. Aku tak ingin menyakiti isi jiwa dan raga ini untuk kedua kalinya, ketiga, atau mungkin yang keempat dan kesekian kalinya. Aku tak mau itu. Sungguh tak mau terjadi.
            Kini aku sudah bisa berdiri namun terkadang aku merasa kakiku sulit bergerak. Melangkah maju pun acapkali terhenti. Rasanya syaraf ototku diputus secara paksa oleh penciptaku. Jika aku melihat ke depan, jalan yang kulalui itu tak ada kata licin atau kerikil yang berserakan di mana-mana. Kemudian cahaya gemerlap terang sekali kulihat. Tentu juga kedua bola mataku masih waras-waras saja. Tidak ada gelap lagi yang perlu kutakutkan. Tahukah, apa sebab aku seperti demikian? Aku selalu percaya jika kebaruan itu akan datang. Membersamai, mendampingiku, dan menjagaku di setiap malam-malam. Aku juga merasa jika kedekatan itu masih terasa hingga ujung kakiku. Bagaimana sentuhannya, bisikannya, petingkahnya, nasihatnya, semua terekam erat memoriku. Sebenarnya aku ingin berlari secepat-cepatnya cahaya agar aku tak terkejar olehnya. Dari jerat yang membelengguku sekian tahun ini. Apakah ada mantra bahagia? Jika memang ada, aku ingin mengucapkan segera dengan bibirku yang layu ini. Karena aku tak ingin menjadi orang yang pesakitan. Terutama cinta.

***

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mantra Bahagia"