Segudang Pesona yang Kamu Hadirkan

        Lirih gemercik hujan bersama hembusan angin. Buai yang ia hadirkan akan rasa ini,  masih terdengar syahdu di telingaku. Begitu menyejukkan hati meski akhir-akhir ini terasa risau. Inikah cinta yang banyak orang lain katakan atau hanya sekedar mimpi yang membuatku terbius. Terbanglah wahai cinta yang datang hanya untuk aku ratapi dan sampaikan salamku pada dewa cinta di khayangan. Kata temanku: inilah lantai dansa yang dulu pernah kamu pakai, tempat ia akan kembali lagi. Sepatutnya ada benarnya juga dia mengatakan ini padaku. Bukannya aku menyombongkan diri karena aku terlihat lebih bijak darimu. Ketahuilah, aku menyadari jika dia adalah tameng untukku. Aku tak ingin semakin terlihat bodoh di depan banyak orang, berpura-pura kuat dan tegar. Apa yang aku lakukan ini, baginya mungkin adalah kesia-siaan belaka.
      Sampai saat ini aku masih terjerembap, tersungkur tak berdaya, goresan hati ini semakin membesar saja. Bahwa aku tak akan pernah lupa janji manismu dahulu kala. Kita bertalian kasih, menepuk pundak bersamaandan kau kecup keningku ketika aku terlihat manja. Benar saja, aku tak mampu melupakan begitu saja. Apa yang aku alami ini sudah kuceritakan pada salah seorang kawanku. Mungkin saja rangkaian ceritaku ini menjadi sebuah cerita menarik yang harus aku baca. Aku tak butuh novel mahal karya penulis ternama sebab dia pandai menuliskannya dalam bentuk kata-kata yang tak kalah indahnya dari penyair tempo dulu. Dan aku bisa tersenyum olehnya. Aku sudah cukup terlunta-lunta karena cinta, patah hati yang berkepanjangan ataupun karena aku yang salah memilih seorang pujangga.
        Seperti halnya menyukai organisasi kampus, tak ada perihal yang harus aku perjelas kembali mengapa aku menyukai pujangga itu. Menatap wajahnya yang rupawan untuk waktu yang lama, pesona yang ia hadirkan begitu menyayat relung jiwa ini. Semenjak mengenal pujangga itu, memang aku tak sempat memikirkan kedalaman batinnya. Yang aku tahu, aku terkesima akan ketampanannya. Pujangga itu adalah obat termanjur yang pernah kutemui. Menyembuhkan luka-luka yang sebelumnya sempat membekas di hatiku. Dan ia juga pemberi cahaya dari gelapnya masa lalu. Semakin hari, lantas aku ingin berdiam di pikiranmu saja. Rasanya aku tak ingin keluar dari zona nyaman yang kau buat itu. Jika kita bertemu, kita hanya berdiam tak banyak bicara. Kadang juga aku palingkan wajahku sebab timbul rasa malu hingga pipiku memerah. Yang kita lakukan hanya menikmati segarnya udara saban hari, menatap wajah sebentar-sebentar. Dengan dirimu yang aku banggakan kali itu, dalam benak hatiku aku memanjatkan sesuatu: Tuhan, aku hanya ingin menetap bersama dengan dia dalam waktu yang lama.
         Tahukah kamu, satu hal yang terlintas dalam otakku kala itu adalah aku tak bisa membayangkan jika nantinya aku tanpamu. Dapat saja kamu meninggalkanku atau malah sebaliknya, aku yang melepasmu. Jika yang terjadi kamu pergi, maka tak ada lagi tempat untukku berbagi cerita dan kisah hidup yang aku alami sepanjang hari. Dan kamu pun juga sama, kamu tak akan bisa lagi melihat senyum ceria yang selalu aku luapkan di hadapanmu. Aku tak bisa membayangkan lebih jauh lagi soal perpisahan antara kita. Jika aku sendiri, kamu tak lagi di sampingku. Menyanyikan lagu kesukaanku terutama, nyatanya aku senang-senang saja. Bilamana harus terjadi, cahayaku akan memudar. Sebab kamu bagian kebiasaanku yang tak terpisahkan.    
          Bukannya aku tak bisa hidup tanpamu, seperti yang kebanyakan orang lain katakan. Aku hanya merasa apabila hidupku ini terasa lebih baik denganmu. Yang aku takutkan hanyalah kenangan darimu saja. Kamu tahu, tak semudah orang mengatakan untuk aku lupakan. Mereka mudah saja berkata demikian, namun aku yakin tidak semua orang tegar menghadapi perpisahan. Aku yang perempuan biasa, kulit hitam, muka pokbul, dan gendut ini bisa apa? Mendengar kabar kamu sehat saja aku sudah senang. Tak ada yang lain, asal kamu berada di sisiku. Peka ketika aku ngambeg, mengerti akan kesibukanku, jika perlu kamu kecup kening aku seraya meminta maaf. Sungguh, pesona yang kamu bawakan ini semakin membuat aku kesengsem olehmu.
“Mereka mudah saja berkata demikian.., namun aku yakin tidak semua orang tegar menghadapi perpisahan.”
      Lamanya dua tahun menjalin kisah denganmu kini masih terasa. Aku ucapkan padamu: terimakasih telah memberi cinta untukku meski cintamu ini tak cukup membuatku bahagia yang sebenarnya. Sejalan dengan waktu, masing-masing dari kita telah tumbuh menjadi lebih dewasa. Aku yang kuliah di Yogyakarta semakin sibuk dengan urusan organisasiku. Sedangkan kamu? Apa kabar? Terakhir kali saat kita berjumpa, saat aku menjenguk ibumu yang terbaring lemas di rumah sakit. Aku akan terus ingat, tapi jangan berpikir jika aku masih mengharap kamu yang dahulu. Sebab aku tahu, kamu sudah tak seperti yang dulu kala. Tak mengapa kita harus memutuskan rantai kasih ini. Jika Tuhan berkehendak, suatu hari tali ini akan erat kembali. Dan kita tak akan terpisah kembali. Bahwa lamanya waktu tak penting bagiku, yang aku sadari sekarang adalah dengan siapa aku menghabiskan waktu yang kupunya.
           

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Segudang Pesona yang Kamu Hadirkan"