Cerpen Empat Bendera Berkibar di Sungai Progo (Tugas Mata Kuliah Pengajaran Karya Sastra)
Terlihat empat anak bermain di sungai
Progo. Mereka berlari satu sama lain seraya membawa bendera merah-putih.
Sebagai rasa bangga menjadi anak Indonesia, tak ketinggalan juga mereka
nyanyikan lagu kebangaan Indonesia, “Indonesia Raya”. Suaranya begitu menggema
di antara tebing dan bebatuan yang mengelilinginya. Nuansa asri, sejuk, dan
aliran air sungai yang begitu tenang menambah kesan damai. Bahwa inilah salah satu
kekayaan Indonesia yang sampai saat ini masih bisa mereka menikmati. Tak melulu
padatnya kota Indonesia dan panasnya udara sebab gas karbonmonoksida dari
lalu-lalang kendaraan bermotor yang tiada henti. Bagi segelintir orang, nikmat
udara sejuk saja lebih dari cukup. Terpenuhinya rasa sejahtera adalah dambaan
setiap orang. Orang Indonesia berhak mendapatkannya, dari negara yang merdeka
70 tahun yang lalu ini. Meski begitu, negara dengan carut-marut permasalahan
saban tahun ini masih membuat mereka tersenyum lebar-lebar. Mungkin dalam lubuk
hati mereka, “asal alam masih mau menemani hidup saya, nikmat Tuhan akan selalu
terpanjatkan.”
Lanjutnya, suasana tenang, kicauan merdu burung Jalak Suren, dan suara gemercik air sungai yang membuat telinga tak berhenti untuk mendengarkan. Empat anak kecil bertubuh kurus: Penmay, Bagas, Wisnu, dan Idin. Mereka adalah anak petualang, kalau boleh dikata adalah bocah petualang. Kegiatan rutinnya adalah memancing di sungai. Maka, tak mengherankan jika mereka asik bermain di pinggir air terjun sungai Progo. Mereka tak takut sama sekali akan bahaya yang mengancam. Jika jatuh atau terpeleset, bebatuan, potongan ranting pohon, atau dalamnya sungai Progo siap mencederai tubuh mereka, atau parahnya nyawa siap melayang. Sekalinya, bahaya itu tak mengendurkan semangat untuk mereka riang gembira bermain. Pagi, saat matahari mulai naik perlahan, kira-kira pukul delapan, mereka habiskan waktu liburan sekolah. Kebetulan saat itu ujian semester satu sudah selesai dijalani. Kini hanya tinggal waktu senggang yang begitu panjang.
“Indonesia
Raya, aku mendukungmu, asal jangan The Jak, The Jak itu tikus!” teriak Penmay
gagah berani. Seolah-olah ialah jenderal TNI di negara ini.
“Bego,
kamu kira yel-yel suporter? Yang benar! Ini lagu kebanggan kita,” balas Wisnu.
“Serius
May, kita harus khidmat menyanyikannya. Bukankah seharusnya kita berhenti
sejenak, kita luruskan barisan dan hormat secara tegas. Kalau perlu, kita
tancapkan tiang bendera di sini, lalu angin mengibaskan sang merah-putih,”
lagaknya sok bijak, anak yang satu ini memang jago berbicara, si Idin namanya.
“Sudahlah,
jangan pada ribut sendiri. Kita main di sini untuk apa?”
Mereka diam sejenak. Menatap satu sama
lain.
“Hahahha..
main bendera-benderaan. Agar kita jadi merdeka sebab zaman ini kita belum
merdeka seutuhnya. Bahkan kita dijajah bangsa sendiri,” bibir manyunya ia
tujukan pada Bagas. Si Penmay mulai ngawur ngomongnya. Hanya pejabat yang tahu
negara ini, hanya sastrawan yang tahu ini, hanya birokrat yang tahu ini. Orang
kecil semacam mereka, apalagi tubuh kurus dan ingus yang kadang masih mengalir
lewat hidung mereka. Mereka hanya tahu: “Indonesia itu Bhineka Tunggal Eka,”
kata orang begitu. Nyatanya, masih banyak pula yang tak peduli antar sesama.
Indonesia yang sejati mustahil diperoleh. Yang katanya sejahtera, hanya mulut
kosong penuh dosa. Yang selalu orang berkursi nyaman, yang selalu mereka
gembor-gemborkan menuju Indonesia maju. Tampak, kemiskinan kian naik setiap
tahunnya.
“Husss..,
kamu omong apa, May? Tahu apa kamu?” ejek Wisnu. “Ulangan saja jeblok prêt!” lagi-lagi Wisnu berujar.
“Terserah!”
Mau dikata apa memang begini keadaannya,” jawab Penmay tegas.
“Hualah,
kata bapak tak seperti itu kok?” bantah Bagas.
Semakin sengit saja mereka berdebat.
Mencari pembenaran sendiri-sendiri. Padahal, itu tak masuk agenda mereka pagi
ini. Yang mereka inginkan hanya main dan main. Tak ada acara lagi, mungkin bisa
jadi setelah ini mereka memancing. Maklum, ikan di sungai Progo ini lumayan
besar. Pas untuk disantap sebagai bekal kenyang perut mereka. Asal jangan
diracun saja sungai ini.
“S-T-O-P..!
Kapan kita mainnya kalau seperti ini terus? Hanya masalah bendera, lho?” sanggah Idin. Berharap
perbincangan seperti kaum dewasa ini segera teratasi. Toh, mereka-mereka masih di bangku sekolah dasar kelas lima.
“Kapan
kita nyanyi?” Wisnu kembali tersenyum kepada mereka. “Ini sudah hampir panas,
apa pentingnya mengurusi pemerintahan. Mereka para penguasa negeri tentu lebih
pintar dari kita. Jadi, mari nyanyikan lagu negeri kita tanpa berlama-lama,”
selesai si Wisnu berujar.
“Huhh..,
dari tadi mengapa saja? Ayo!” tangannya mengepal, si Idin semangat sekali.
Dan Penmay yang tadi melototi temannya,
akhirnya luluh juga keras kepalanya.
***
0 Response to "Cerpen Empat Bendera Berkibar di Sungai Progo (Tugas Mata Kuliah Pengajaran Karya Sastra)"
Post a Comment